Saturday, December 31

Inikah Tahun Baru?








             Merayakan tahun baru. Apanya yang baru jika dari dulu perayaan ini selalu diulang-ulang. Tahunnya dong, digit belakangnya bertambah 1 angka. Lalu kenapa tidak disebut saja perayaan tahun kesekian plus satu. Maksudnya tahun baru harapan baru. Berarti dari dulu sampai sekarang ada banyak harapan jika setiap tahun ada harapan baru. Dua ribu sebelas harapan? Tapi menurut saya harapannya ya cuma itu-itu saja kok. Palingan tahun yang akan datang lebih bagus dari tahun yang lalu. Sudah.
             Menurut terawangan kasar saya, ada tiga macam orang yang merayakan tahun baru. Pertama memang niatan, kedua cuma ikut-ikut, dan ketiga kesempatan bawa pacar. Penjual terompet? Penjual terompet adalah salah satu orang yang menantikan tahun baru namun tidak merayakannya.
             Orang yang memang niatan adalah orang yang dari jauh-jauh hari sudah memimpikan perayaan tahun baru. Sudah siapin baju terbaik, benerin motor (dipakein knalpot ekstension super bising), beli terompet dan mercon, pasang tato temporary di sekujur wajah, sampai rela SMS-in orang lain satu-satu untuk ikut acaranya.
             Nah kalau orang sudah super niat bikin acara perayaan tahun baru, entah sekedar hangout atau konvoi, terus ngajak orang lain, pasti ada di antaranya yang cuma ikut-ikutan doang. Gak enak gue sama dia. Ya udahlah daripada nganggur. Ane ikut aja deh.
             Tahun baru adalah kesempatan ngajak pacar keluar (buat yang punya pacar doang). Cuma di tahun baru boleh bawa pacar sampai larut malam, bahkan sampai pagi. Dan bisa dibayangin gak apa yang mereka lakukan dari puncak tahun baru jam 12 malam hingga pagi hari? Mungkin kejebak macet di jalan, mungkin nonton pentas wayang kulit, mungkin ketiduran. Eh? Ketiduran apa ditidurkan?
             Nah itu menurut tipe orang. Kalau menurut tujuan orang merayakan tahun baru, lumayan banyak tujuannya. Dari mulai emang niat cari hiburan, cari jodoh, cuci mata lihat hotpants, nonton konser, konvoi, tawuran, party, mabok-mabokan, sampai pacaran yang negatif.
             Namun ada satu tujuan dengan alasan yang saya suka. Yaitu, kita jadikan tahun baru ini sebagai momentum instropeksi diri dan membuat resolusi. Nah ini betul. Tapi yang menjadi pertanyaan saya, kenapa mesti di tahun baru. Kenapa gak pas hari raya atau hari ulang tahun saja? Dan kenapa instropeksi diri dan resolusi diiringi dengan perayaan foya-foya? Beda dengan perayaan (yang tidak dirayakan) tahun baru Hijriyah misal. Ada doa akhir tahun dan awal tahun, yang intinya muhasabah. Tujuannya sih sama, hanya saja perayaan yang mengiringi yang berbeda.
             Manusia itu salah kaprah, dan mereka suka itu. Semakin bertambah tahun artinya semakin dekat dengan kiamat, dekat dengan kematian. Tapi kok malah foya-foya. Teringat kata-kata Mbah Kakung saya pas Idul Fitri bertahun-tahun lalu, “Kira-kira bisa menangi (mengalami) lebaran tahun depan gak ya?”. Oke tahun depannya mbah saya masih menangi, tapi gak ada yang tahu kalau lebaran tahun depannya mbah saya sudah almarhum.

Sunday, December 4

Kapitalisasi Tuhan






               Semua orang tahu dan paham bahwa Tuhan itu Maha Besar. Kecuali mereka golongan orang yang tak berpunya, tak mempunyai Tuhan di dalam hatinya (bisa Atheis, bisa juga orang beragama di KTP doang). Nah terlepas dari mereka punya Tuhan atau tidak, menjalankan perintah Tuhannya atau tidak, di sini saya ingin menulis tentang bagaimana cara menulis Tuhan.
               Semua orang yang pernah sekolah dan belajar bahasa Indonesia pasti tahu, bahwa dalam menulis nama sesuatu seperti nama orang, nama tempat, nama bulan, dan yang lainnya, terlebih nama Tuhan, harus ditulis dengan huruf awal kapital. Contoh Pekalongan, Juni, Dedy, Selasa, Suramadu, dan juga nama-nama untuk menyebut Tuhan. Jadi nama Tuhan, misal Allah, ya harus ditulis Allah pakai kapital, gak boleh nulis gini (maaf) allah. Saya selalu tersinggung setiap membaca nama Tuhan tanpa huruf kapital. Selain itu, dalam bahasa Inggris antara God dan god memiliki arti yang berbeda lho. God (huruf besar) adalah Tuhan, dan god (huruf kecil) berarti dewa. Jadi bisa disamaartikan kalau Tuhan (huruf besar) dan tuhan (huruf kecil) memiliki makna yang berbeda.
               Ah itu kan cuma dari segi bahasa, tulisan tidak penting, yang penting kan niat dalam hati. Nah kurang lebih kata-kata inilah yang terucap dari setiap orang yang pernah saya ingatkan tentang bagaimana cara menulis Tuhan yang benar. Dan pengalaman terburuk saya dalam mengingatkan perihal ini, saya pernah di-unfriend oleh seseorang. Oke jika seseorang mengelak dan beralasan seperti di atas, maka simak analogi di bawah ini!
               Perhatikan namamu di daftar absen atau di manapun yang penting di situ ada namamu! Apakah namamu ditulis dengan huruf besar atau huruf kecil? Setiap kali menulis surat, apakah nama orang yang kamu tujukan kamu tulis dengan huruf besar atau huruf kecil? Setiap kali ujian atau ulangan harian, saat mengisi identitasmu apakah kamu menulis namamu dengan huruf besar atau huruf kecil? Saya yakin semua kegiatan di atas saat menulis nama kamu pasti menulisnya dengan awalan huruf besar.
               Nah untuk urusan remeh-temeh yang sifatnya manusia seperti itu saja kamu sanggup menulis nama dengan huruf besar, lalu mengapa masih juga ada orang yang menulis nama Tuhan dengan huruf kecil. Kebanyakan hal ini ditemui pada jejaring sosial khususnya Facebook. Dan sudah menjadi kebiasaan, Facebook adalah tempat orang-orang mengeluh. Dan karena masyarakat kita beragama, maka dalam mengeluh mereka banyak menyertakan nama Tuhan. Namun sayang, orang yang banyak mengeluh biasanya bukan orang yang bijak, maka banyak dari mereka yang menulis Tuhan seenaknya tanpa huruf kapital. Alasannya buru-buru lah, ribet lah, lupa lah, dan yang paling parah malah ada yang balik tanya: “Emang penting?”. Astaghfirullah. Ya penting lah. Emang seberat apa sih menyisihkan satu jari untuk menekan tombol Shift sebentar saja. Tuhan telah menciptakan kita dengan sempurna, lalu kenapa kita malah menulis nama Tuhan secara tidak sempurna.
               Fenomena lain justru kebalikan. Saya pernah menemukan status seseorang yang berisi tentang kata-kata manis yang ditujukan kepada orang lain, dan parahnya dalam tulisan itu ia menulis –mu dan –ku dengan huruf besar sehingga menjadi –Mu dan –Ku (misal: untukMu, padaKu). Saya juga tersinggung dengan gaya tulisan seperti ini. Karena kata –Mu, –Ku, dan –Nya adalah hak prerogatif untuk kata ganti Tuhan. Kata ganti ini tidak dipakai untuk apapun dan siapapun di dunia kecuali untuk kata ganti Tuhan.
               Kesimpulannya, saya memang kolot, keras kepala, dan sedikit frontal. Bukan itu maksudnya -___- . Jadi kesimpulannya, nama Tuhan tidak boleh ditulis dengan sembarangan. Mungkin maksudnya benar, tapi kalau dilakukan dengan salah tetep aja itu gak baik. Oke jika masih ada yang ngotot hak asasi lah, gak penting lah, suka-suka lah, itu terserah dan kembali ke pribadi masing-masing. Lakum dinukum waliyadin, lo lo gue gue. Dan saya hanya ingat-mengingatkan perihal kebaikan, watawa shaubil haq. Tuhan itu Maha Besar, maka tulislah Ia dengan huruf besar.

Friday, October 28

Jomblo Asmara







        Pasti semua orang kaget dan tak percaya saat saya bilang bahwa saya masih single. Please tahan rasa mual itu. Simaklah ini sebentar saja. Entah faktor apa yang menyebabkan saya single. Faktor sial, ekonomi, politik? Yang jelas bukan faktor tampang. Bukan, bukan karena tampang. Karena sejauh ini ada tiga orang yang mengatakan saya ngganteng. Pertama ibu saya, kedua bapak saya, dan ketiga tetangga-tetangga saya yang sedang menirukan perkataan ibu saya. Dan saya yakin kalian bakal jadi orang yang keempat. Oke bernafas dulu. Silakan bagi yang tadi mual bisa kerokan dulu mungkin, barangkali masuk angin.
        Oleh karena itu saya menjadi salah satu orang yang sangat-sangat tidak percaya ramalan bintang. Kenapa? Setiap baca ramalan bintang di situ ditulis: “Gemini. Asmara: Aduh, ada yang kangen nih. Setan ya mbah yang kangen? | Bakal ada kejutan nih dari si dia. Saya bakal kesetrum ya mbah? | Aduh, tambah deket aja nih. Iya, tambah deket sama tangan sendiri. Dan begitulah yang sejenisnya di mana ramalan itu benar-benar bodoh dan sok tahu.
        Ada satu quote keren: “Jomblo itu nasib. Sedangkan single adalah prinsip”. Nah ini bedanya antara jomblo dan single. Kalau nemu cowok siul-siul dan ngoceh gak jelas ke cewek, bisa dipastikan mereka jomblo, dan mereka alay. Tapi jika ada cowok ngganteng yang bisa gaul sama semua cewek, yang gak mentingin status, nah itu baru cowok single, atau bahkan mungkin dia gay. Tidak. Saya juga khawatir orang-orang menjudge demikian. Tapi prinsip lho ini. Buat apa sih pacaran cuma buat status. Emang kalian yakin pacar kalian sekarang bakal jadi istri atau suami kalian nanti.
        Saya pernah dekat dengan cewek, atau justru ia yang dekat dengan saya. Teman SMA, ya sudah dibilang sahabat gitu lah. Lingkungan berkata dia dan saya sedang pendekatan. Kita sering SMS-an. Tapi kalo telpon justru dia yang telpon, soalnya saya ini pelit jadi gak pernah telpon. Dia nanya kriteria cewek seperti apa yang saya idamkan. Pokoknya saya tahu lah perilaku dia bakal menjurus ke mana. Sebenarnya saya juga sayang sama dia. Tapi yang ada di pikiran saya saat itu, apa sih pentingnya status. Toh saat itu kita berdua sudah deket banget kayak kakak adek. Nah karena hubungan itu sudah kayak hubungan kakak adek, saya justru merasa berdosa jika mengubah status dia sebagai pacar. Rasanya seperti macarin adek atau kakak sendiri. Tapi saya menyesal sekarang. Saya terus kepikiran bagaimana usaha dia dulu untuk mendapatkan saya tidak saya penuhi. Plakkkkk. Oke bernafas dulu. Silahkan kalian boleh melempari saya pake apa saja.
        Tapi anehnya, ini yang lucu, orang-orang di sekitar saya tahu saya single, atau jomblo gitu lah, tapi mereka yang kasmaran bahkan yang sudah pacaran malah curhat dan minta wejangan ke saya. Baik lewat message Facebook, SMS-an, hingga tatap mata dua muka. Saya suka mendengarkan setiap masalah dan saya merasa sangat puas apabila bisa menyelesaikannya. Kepuasannya seperti mendapatkan upil gede dua kali berturut-turut dari lubang yang sama. Lalu kenapa saya tidak jadi psikolog saja ya, batin saya.
        Ya, bisa dibilang saya ini puitis dan romantis. Salah satu teman pun pernah minta saran untuk kado ultah pacarnya sampe kado anniversary hubungannya. Teman kampus saya selalu konsultasi apa yang musti dilakukan tentang gebetan yang hendak dipacarinya. Bahkan temen Facebook yang belum pernah bertemu langsung pun kerap curhat, minta pendapat, sampai diminta menerawang pacarnya itu, semenjak dulu dia berpacaran hingga kini putus. Temen Facebook lain bilang diksi saya bagus. Aduh saya jadi malu.
        Tapi dari semua itu, bukan berarti saya anti pacaran. Pacaran itu gak dilarang. Pacaran itu boleh. Namun hanya saja banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Maka dalam hukum fikih, apapun yang lebih banyak hal buruknya daripada manfaatnya, lebih baik dijauhi saja. Bahkan teman saya ekstrem dalam update status: “Jomblo sampai halal”. Tidak, saya gak se-ekstrem itu kok. Jadi tenang saja bagi para wanita yang hendak mendekati saya. Yuk pacaran sehat.

Sunday, October 2

Gagal lagi! Suksesnya?









          Hayo kemarin siapa yang ikut USM STAN? Saya ikut lho. Lha terus? Ya gak papa, cuma ngadu. Terus gimana hasilnya? Kan kemarin-kemarin ini baru aja pengumuman tuh. Selamat ya buat kalian yang lolos tesnya. Semoga sukses di sana seperti suksesnya Bung Helmy Yahya, jangan sukses seperti suksesnya Gayus Tambunan. Dan sabar ya bagi yang gagal. Toh dari sekian banyak yang tes pasti yang gagal lebih banyak daripada yang lolos.
          Seperti sudah saya bilang, saya ikut. Dan sudah bisa ditebak hasilnya, saya lolos. Ya, lolos alias tidak ikut kesaring babar blas. Saya gagal. Nama saya tidak ada dalam list. Padahal nama saya bagus lho. Entah gimana cara mereka menyeleksinya. Yang jelas bukan dari tampang karena kemarin yang ngawasin bapak-bapak. Lain cerita kalau bapak itu maho dan kebetulan saya jelek. Mungkin juga dari hasil tes saya. Tapi perasaan kemarin sudah saya akalin kok. Dari tiap nomor ada empat option ABCD sudah saya bunderin semuanya kok, dengan harapan pasti dari keempat bunderan itu ada satu option yang betul.
          Ah sudahlah. Toh ini bukan kegagalan saya yang pertama. Tahun lalu, waktu masih fresh graduate dari SMA, saya juga ikut USM STAN. Dan hasilnya? Ya gagal juga lah. Nah yang kemarin lalu itu murni kesalahan saya. Saya terlalu kepedean, karena pas try out saya lolos. Jadi akhirnya pas tes saya out. Jujur waktu tes yang dulu saya banyak becandanya. Wong waktu tes saja saya suka curi-curi pandang ke peserta tes lain, cewek lho ya tentunya. Cantik sih. Dengan perawakan sedang, rambut panjang lurus, dan dengan wajah oriental. Back to the topic, cewek itu duduk di kanan depan saya. Let’s back to the real topic, kemeja yang dia pakai kekecilan jadi kelihatan seksi banget.
          Oke kali ini benar-benar back to the topic. Terhitung dari pengumuman kemarin saya dinyatakan gagal tes dua kali. Sedih gak? Ya ada sedihnya ada dukanya. Sedihnya saya gak bisa kuliah di sana dan menyenangkan orang tua saya. Dan dukanya saya gak bisa menyenangkan orang tua saya karena saya gak bisa kuliah di sana. Tapi ada sedikit terima kasih juga sih. Loh kok? Ya. Dalam doa saya berkomitmen. Tuhan akan mengabulkan doa saya dengan cara-Nya. Dan ternyata beginilah cara Tuhan. Saya percaya akan adanya Butterfly Effect. Saya yakin kejadian ini akan membawa pengaruh yang besar suatu hari nanti, dan semoga itu positif. Apalagi saya mempunyai komitmen. Kalau Tuhan gak memberi saya jalan ke sana, maka Tuhan memberi jalan ke Plan B saya.
          Ada quote untuk menghibur diri saya, yang bunyinya: “Adakah nama tokoh yang tercatat dalam sejarah yang tidak pernah gagal?”. Tapi saya benar-benar tidak butuh dihibur. Sombong? Bukan sombong tapi saya benar-benar tidak merasa sangat kecewa. Karena sudah dibilang saya punya komitmen. Maka berhentilah memperlakukan saya seolah-olah saya sangat kecewa dan sedih. Ini beneran lho. Ada temen kampus saya, awalnya dia gak percaya kalau saya gagal. Mungkin dia pikir saya sepintar Jimmy Neutron. Dan saya benar-benar gagal kawan. Dia langsung berusaha menghibur saya dengan kata-kata dewasa yang tinggi. Bapak saya saja ngomongnya gak gitu. Dia pikir saya kecewa berat.
          Sudahlah. Saya ke Plan B saja. Emang apa sih Plan B saya? Saya kepingin merintis usaha jualan keripik tempe. Ini serius. Ada banyak orang hebat yang meracuni pikiran saya. Dengan motivasi dan inspirasi macem-macem. Dan dengan sedikit inovasi dan intuisi saya telah memutuskan. Enterpreneur itu luar biasa. Saya pasti sukses karena saya sudah gagal dua kali.

Sunday, September 11

Alay, Alamak!!







        Saya yakin semua orang pernah alay. Apa sih alay itu? Kalo kata Wikipedia, “Alay adalah sebuah istilah yang merujuk pada sebuah fenomena perilaku remaja di Indonesia. "Alay" merupakan singkatan dari "anak layangan." Istilah ini merupakan stereotipe yang menggambarkan gaya hidup norak atau kampungan. Dalam gaya bahasa, terutama bahasa tulis, alay merujuk pada kesenangan remaja menggabungkan huruf besar-huruf kecil, menggabungkan huruf dengan angka dan simbol, atau menyingkat secara berlebihan.”
        Tapi menurut saya alay itu ya melawan arus, dibuat-buat, salah gaul, korban mode, dan pokoknya semua-semua yang kebalikan sama kita sebagai orang normal. Alay telah mencakup ke segala aspek kehidupan. Mulai dari tren, fashion, gaya bicara, gaya tulisan, tingkah laku, dan Facebook.
        Menurut ke-objektifitasan saya, ciri-ciri orang alay adalah orang yang memakai celana jins skinny yang lututnya bolong dipakai melorot sampai kelihatan daleman yang pake boxer, udah gitu pake gasper gede kayak gasper power ranger gitu sampai dibela-belain itu kepala gasper harus nongol meski kaosnya dikeluarin. Kondangan pake itu, hangout pake itu, ke mall pake itu, sampai ujian nasional dan SMNPTN pake itu. Ente sakit? Kita di sini ngeliatnya itu orang mau gaul kok kesiksa banget. Oh iya itu cowok. Nha yang cewek? Saya gak bisa ngeritik cewek kalo soal penampilan.
        Udah ah. Saya gak mau mengkritik orang dari penampilannya. Don’t judge the snack from its package. Bisa jadi orang-orang itu cuma korban. Korban mode. Fashion crime. Tapi saya yakin kita semua pernah ngalamin siklus itu. Khususnya gaya SMS. Jujur saya dulu, sebelum tahu itu alay, sAyA kALo nULis SMS sUkA GiNi. Alasannya? Bukan buat gaul sih. Tapi saya memperhatikan persprektif dan tipografi dari huruf-huruf yang disejajarkan. Halah, sekali alay ya alay. Oke, sekarang saya sudah tobat. Tapi masih banyak yang belum. Temen deket saya juga masih sering gitu. Bahkan lebih parah dengan pake singkatan dan simbol yang hanya dia dan Tuhan yang tahu. Padahal dia cowok lho, tapi kalo SMS suka pake smiley-smiley gitu.
        SMS-an sama orang alay itu bisa diibaratkan seperti ngomong sama orang yang nafasnya bau. Kita jadi risih dan malas sendiri. Tapi kalo orangnya cakep, cantik, dan lumayan, bisalah kita ibaratkan seperti ngomong sama anak kecil yang cadel. Jadi berasa imut gitu. Tapi sama saja keduanya alay. Yang nafasnya bau tidak sadar kalau nafasnya bau. Yang cadel masih belum bisa ngomong bener. Tapi gimana kalau yang SMS alay itu orangnya jelek dan nyebelin. Ya, pura-pura aja ngomong sama orang gagu, terus pura-pura mati.
        Alay itu bukan penyakit. Karena pelakunya gak ada kesadaran untuk sembuh. Alay itu bisa saya definisikan sudah menjadi semacam “agama”. Kalau kita ingatkan, kita sama saja menodai prinsipnya. Mau bukti kalo alay itu sama seperti “agama”, coba aja cek Facebook! Sekalinya nemu nama profil yang “aneh”, cek friends list-nya! Saya jamin, 90 persen nama temen-temennya juga sejenis. Sealiran gitu lah. Satu sektarian. Pengalaman saya pernah komen di status temen yang begitu, selanjutnya beuh, notification komennya isinya nama begituan semua. Nyesel saya pernah komen. Untung Twitter belum banyak yang begituan.
        Saya kok jadi iseng pengen nantangin orang-orang begituan. Berani gak mereka teriak nama profil Facebook-nya di tempat umum. Di tempat umum, bukan di kandangnya. Jadi ngebayangin misal ditanya dosen: “Punya Facebook gak? Apa namanya?” coba mereka bakal ngomong apa. Pantes dosen saya pernah ultimatum mahasiswanya agar kalau mau nge-add dia harus pake nama asli sesuai list absen.
        Tapi itu semua hak asasi sih. Saya menghormati kok. Karena toleransi antar strata pergaulan itu indah. Kita belum tentu yang paling bener. Mari kita jalankan SMS, Facebook, fashion sesuai dengan kepercayaan masing-masing.

Monday, August 29

Selamat Hari Raya Idul Fitri






        Lebaran. Berasal dari kata lebar atau bubar yang berarti selesai, ditambah imbuhan –an yang menunjukkan kegiatan lebar itu sendiri. Jadilah lebaran, yang menandakan selesainya bulan Ramadhan. Biasanya lebaran akan dirayakan habis-habisan hampir di seluruh tempat di Indonesia. Para rantau pulang kandang, para pegawai libur diri, para bajingan alim sehari. Semua orang Islam dari yang beneran Islam, mengaku Islam, ikut-ikutan Islam, sampai yang di KTP-nya Islam semua merayakan hari raya Idul Fitri atau lebaran ini. Yang jadi pertanyaan saya, mengapa perpisahan dari bulan Ramadhan ini dirayakan sedemikian meriah? Tidakkah kita akan merasa rindu dengan bulan Ramadhan?
        Jawabannya tentu bermacam-macam. Tergantung dari strata keimanan masing-masing orang. Ada yang bilang: “Itu artinya kita tidak akan puasa lagi”, atau “Lho yang penting kan dapat THR”, atau “Lebaran saatnya bertemu seluruh anggota keluarga”, hingga ada seorang anak kecil yang polos menjawab: “Cuma lebaran ini kami dapat baju baru” atau sang bapak yang bilang: “Cuma lebaran ini saya dapat membahagiakan anak saya dengan membelikan mereka baju mereka”.
        Lebaran membias jadi beragam makna. Lebaran hari berhentinya puasa, lebaran hari bagi-bagi THR, atau lebaran momen beli baju baru. Yang jelas mau lebaran yang mana pun di Indonesia ya tetap satu yang sama yaitu ketupat opor ayam, atau lontong opor ayam, atau rendang, atau lemang, lho macam-macam begini apanya yang sama. Ya itulah Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika.
        Kalau mau serius, lebaran itu ya artinya hari yang fitri. Fitri atau fitrah yang artinya suci. Bukan fitri yang cinta-cintaan itu, halah. Setelah puasa sebulan penuh (Insya Allah) Allah membersihkan hati kita sebersih ibarat bayi yang baru lahir. Jadi yang sholat Id, jamaahnya, imamnya, khatibnya itu semua bayi, *plakkk. Jadi kita telah kembali bersih (syarat dan ketentuan berlaku). Tapi jangan seneng dulu. Bersihnya kita itu cuma vertikal sama Allah. Makanya kita perlu membersihkan secara horisontal yaitu dengan cara saling bermaaf-maafan ke sesama, ke orang tua, istri, suami, tetangga, teman, sahabat, pacar, mertua, bos, selingkuhan, dan siapa pun. Dan salinglah bertukar sapa dan berkirim salam. Ucapkanlah selamat hari raya, wong operator seluler aja ngucapin kok.
        Nah setelah Ramadhan ini, kalau kita ikut puasanya sebulan penuh (puasa lho ya, bukan lapar dan haus saja), itu jika ibarat mesin kita telah di-maintenance. Nah bagi yang tidak ikut puasa ya berarti dia tidak ikut di-maintenance. Rugi kan. Tapi Allah Maha Penyayang kok. Kalau kita di-maintenance total, mungkin kalau untuk mereka cuma dikasih pelumas saja. Yang jelas semua dari kita telah siap untuk berjalan sebelas bulan ke depan. Kotor-kotoran lagi, belepotan lagi, dan semoga kita masih dapat berjumpa dengan Ramdhan lagi untuk di-maintenance kembali. Sukur-sukur ketemu lebaran, selain di-maintenance juga bakal dikasih baju baru dan dikasih makan ketupat opor, lontong opor, rendang, dan lemang. Aamiin.

Saturday, August 27

Cukur Rambut






      Perjuangan untuk cukur rambut dimulai sejak 2 hari sebelumnya. Saya ini orangnya setia jadi cukur rambut ya di tempat itu-itu saja. Paling ada satu dua tempat lain lagi sebagai alternatif. Dan sialnya, waktu-waktu mendekati lebaran seperti ini semua tepat cukur rambut penuh. Tentunya malas sekali menunggui orang-orang yang cuma duduk mengantuk di depan cermin sambil membiarkan kepalanya dipegang-pegang orang lain.
      Jujur saya lebih suka cukur rambut di kios-kios pinggir jalan ketimbang di salon atau barber shop. Apa saya pelit? Memang tarifnya lebih murah, ya selisih sedikit lah. Tapi memang saya lebih nyaman cukur rambut di pinggir jalan. Alasannya? Karena saya canggung dengan suasana salon atau barber shop, canggung dengan cermin besar di depan wajah, canggung dengan handuk yang melingkar di bahu, canggung dengan gambar-gambar kepala di dinding, apalagi salon atau barber shop didominasi oleh tuna gender alias bencong. Dan satu lagi, sangat tak nyaman buat saya untuk duduk dan dicukur sementara di kiri kanan saya juga ada orang yang melakukan hal sama. Kalau di pinggir jalan kita benar-benar eksklusif, satu orang satu.
      Kembali ke cerita perjuangan mendapatkan tempat cukur. Satu hari saya keliling tempat-tempat cukur dua kali. Hanya untuk memastikan bahwa tempat cukur sepi dan saya bisa cukur segera. Tapi kenyataannya selalu penuh. Dua hari berturut-turut saya berjuang, di tengah terik matahari sore, di tengah padatnya lalu lintas mudik, semua tempat cukur berjubel. Mungkin memang mendekati lebaran seperti ini tempat cukur selalu penuh. Selain pengaruh adat Jawa juga alasan kerapihan menyambut hari yang suci.
      Karena dua kali sehari selama dua hari tak mendapatkan hasil, maka saya putuskan hari ini saya akan berjuang agak siangan. Siapa tahu karena panas gini orang-orang jadi malas cukur rambut. Saya langsung menyambangi kios cukur rambut kebiasaan saya, bangunan semi-permanen dari papan yang berdiri di atas irigasi.
      Di dalam kios ada satu orang yang sedang dieksekusi dan dua orang cewek. Hah? Cewek? Baru kali ini saya menemukan cewek menggunakan jasa cukur rambut pinggir jalan. Gak gengsi apa? Apa mungkin karena salon-salon juga penuh? Tapi kan di sini gak bisa rebonding? Dua cewek seumuran SMP. Yang satu biasa saja (belakangan diketahui sebagai calon korban), nah yang satu lagi luar biasa (belakangan diketahui sebagai teman korban). Luar biasa gimana? Cantik. Seksi. Meski masih usia SMP aura cantiknya kelihatan. Kalau dilihat-lihat muka manisnya mirip Marsha Aruan. Dan, buset, yang satu ini pakaiannya minim sekali (baca: tank top, hot pants). Saya sempat lupa kalau lagi puasa. Astaga.



Marsha Aruan


      Ah biasa aja deh? Lebay deh? Oke kalau semisal saya menemukan yang begini di mall atau cafe bisa dibilang biasa saja. Lha ini di tempat cukur rambut mau pamer sama siapa. Sama abangnya? Oke kita kembali. Untuk menyibukkan diri saya mengutak-atik handphone saya. Meski cuma buka Facebook, skip, Twitter, skip, Kaskus, skip, cek SMS, tapi setidaknya saya kelihatan sibuk dan cool. Tapi tetap saja hal itu tidak bisa menghalangi mata saya untuk melirik sedikit saja jengkal-jengkal keseksiannya. Halah. Semoga pahala puasa saya tidak dikurangi. Eh, eh, eh. Tiba-tiba datang segerombolan anak tanggung dengan mengendarai berbagai sepeda. Gayanya khas alay banget menjurus ke punk karena kompakan pake kaos hitam. Apalagi obrolannya, beuh, siapa lagi gak ngobrolin cewek itu.
      Setelah menunggu penuh perjuangan melawan hawa nafsu dan zina mata, yang mana ternyata hasilnya seri, akhirnya tiba giliran saya untuk dieksekusi. Saya duduk di kursi kayu, tidak ada kursi empuk. Di depan saya ada meja kecil penuh dengan alat eksekusi, di atasnya ada cermin kecil sehingga hanya cukup untuk memuat wajah ganteng saya. Abang tukang cukur dengan mesra memasangkan celemek menyelimuti tubuh saya. Dan dengan keyword “Bros tipis bang!”, eksekusi dijalankan. Padahal saya biasa di sini tapi kenapa saya harus selalu ngomongin keyword.
      Pejuangan saya belum berakhir. Karena gerombolan tadi menggangu sekali. Mulai dari jokes garingnya hingga tingkah polahnya. Sebagian dari mereka terus mondar-mandir hingga ke depan dan memandangi wajah ganteng saya. Buset ini anak naksir saya kali ya.
      Finishing. Dengan lembut abang tukang cukur memoles sekitaran kepala dengan cairan mirip sabun dan dengan cekatan dia mengikis kulit saya mirip tukang kelapa muda. Selesai, dibedakin, disapu pake busa, dan tada: Wajah Ganteng Saya.




Sunday, July 31

Marhaban Ya Ramadhan






Perlu hati yang ikhlas untuk memulai sebuah perbuatan.

Perlu hati yang suci untuk memulai sebuah kebaikan.

Sebaik-baiknya perbuatan dan kebaikan adalah membersihkan hati menjalani bulan suci.

Mengawali bulan penuh berkah ini, marilah kita membuka diri, membuka hati, untuk dapat saling memaafkan.

Awal yang baik untuk akhir penuh kemenangan.

Marhaban ya Syahru Ramadhan.

Wednesday, July 27

Gadis Matahari







Tulisan ini diimpor dari Note Facebook saya.


Saat duduk di pucuk-pucuk atap rumah di akhir malam, seekor kucing tua datang menghampiri. Kucing setengah hitam penuh kadas kemudian duduk dan menjilati kadas-kadas di tubuhnya. Bukankah itu menjijikkan, batinku.
"Apa yang kau lakukan?" tanyaku.
"Kenapa? Kau tak suka aku melakukan ini," jawab kucing.
"Tidak. Aku hanya ingin tahu apa yang sedang kau lakukan,"
"Kau pun melihat kalau aku sedang menjilati korengku sendiri,"
"Iya. Aku tahu. Tapi mengapa? Apakah enak?"
"Cih. Kalau aku punya tangan seperti kau, aku akan menggaruknya. Bukan menjilatinya. Apanya yang enak, lidahku tak diberi rasa."
Hening. Di penghujung malam, tergradasi oleh fajar, aku masih terpaku di pucuk rumah ditemani kucing kudisan yang sibuk menjilati korengnya. Pandanganku lurus jauh ke depan. Halimun batas-batas horison yang masih terlihat gelap.
"Kau sendiri sedang apa di sini? Anak gadis tak boleh naik sampai ke sini. Menanti kekasihmu?" giliran kucing yang bertanya.
"Tidak. Emm, sebenarnya aku menyukainya, tapi dia bukan kekasihku," jawabku.
"Siapa dia? Barangkali aku mengenalnya,"
"Iya. Setiap hari kau pasti melihatnya. Tapi mungkin kau tidak sadar,"
"Siapa?"
"Bukan siapa. Tapi apa."
"Apa siapa? Siapa apa?"
"Kita tunggu ia dari sini."
Hening. Fajar hari di pucuk atap angin berhembus menusuk tulang. Menggetarkan bulu-bulu romaku. Kutarik selimut merah jambu melekat erat mendekap tubuhku.
"Mana dia?" tanya kucing.
"Sebentar lagi." jawabku.
Di kejauhan di fajar hari, kaki langit mulai luntur. Agak cerah di ujung sana tapi gelap di sini. Jauh di ujung sana kaki langit mulai runtuh, terbelah menjadi dua warna yang menakjubkan. Jauh di ujung sana, dari deretan lanskap itu, menyembul tepian benda besar namun kecil. Manis sekali.
"Itu dia!" sorakku kegirangan.
"Siapa dia? Apa dia?" tanya kucing.
"Matahari. Ia tak pernah datang terlambat."
Benda besar namun kecil itu, Matahari, semakin menampakkan kebesarannya. Seolah dengan membusungkan dada melesat membelah langit-langit. Menyiramkan cahaya keemasan yang terpantul pada lanskap-lanskap jauh di sana. Fajar sudah pergi. Kini kusebut ia pagi. Dan aku berjanji seperti biasanya. Tak akan turun sebelum Matahari benar-benar dekat di atas kepalaku. Karena saat melihat Matahari sedekat itu, aku merasa dekat pula kepada yang menciptakannya.

Thursday, June 23

Obsessive Compulsive Disorder







Saya yakin kalian pernah melakukan ini: menggoyang-goyangkan kaki, memainkan pulpen, menggigit-gigit jari, mengetuk-ngetuk meja, apalagi jika suasana sedang tegang atau saat bosan. Kalian melakukan itu secara berulang-ulang, namun justru rasa nyaman yang didapat. Mungkin benar mungkin kebetulan, hal itu merupakan sebagian dari tanda kecil pengidap Obsessive Compulsive Disorder atau bahasa kerennya OCD.
OCD adalah suatu jenis gangguan psikologi. Ciri utama penderita OCD adalah tidak mampu menahan keinginan untuk mengulang-ulang sesuatu yang sedang dikerjakannya. Kegiatan itu dilakukan untuk menekan rasa cemas, ketidaknyamanan, perasaan takut, dan biasanya akan memberikan efek lega, nyaman, dan puas.
Contoh yang parah dari OCD adalah ketika seseorang mencuci tangannya berulang kali karena takut terkontaminasi virus. Bahkan yang lebih parah, di Amerika ditemukan seorang penderita OCD yang tidak mampu menekan keinginannya untuk terus meminum air. Jika keinginan ini ditekan, maka ia bisa meminum air dari vas bunga dan air apapun yang ditemuinya. Parah kan? Mungkin kalian ada yang seperti itu. Untung saya tidak sampai separah itu.
Sudah menjadi kebiasaan OCD saya semenjak sekolah hingga kini adalah menggoyang-goyangkan kaki. Pernah pada waktu suatu pelajaran di SMA dulu, teman-teman saya pada protes karena mereka terganggu dengan kegiatan saya itu (waktu itu di laboratorium bahasa yang lantai kelasnya berundak memakai panggung kayu, jadi bisa goyang). Anehnya, saat teman-teman di sekitar merasa terganggu karena tulisannya jadi jelek karena bergoyang, saya justru nyaman bahkan tulisan saya baik-baik saja.
Lalu perilaku aneh saya lainnya yaitu saya yang sok perfeksionis. Jujur saya merasa malas membaca suatu tulisan jika di sana ditemukan ejaan yang salah. Bahkan waktu kegiatan kuliah saat dosen memberikan materi, yang tadinya semangat namun begitu ketemu ejaan yang salah pada presentasi dosen, langsung deh down itu semangat. Lainnya yaitu saat menulis sesuatu. Contoh pas ujian, saya tidak bisa hanya sekali menyilang jawaban. Pasti akan berkali-kali hingga jawaban itu tebal betul. Bahkan saat menulis di tengah jalan tiba-tiba pulpen mulai menipis, maka pasti dengan pulpen baru tulisan itu akan saya ulang dengan menebalkannya hingga tulisan menjadi tak karuan, tapi saya puas.
Waktu membaca koran, saat selesai saya harus menata koran itu kembali sesuai dengan urutannya. Mulai dari ututan halaman sampai urutan rubrik. Rasanya seperti ada yang mengganjal saat koran disusun terbalik atau ada halaman yang hilang. OCD saya yang lain adalah tak bisa melihat lipatan yang tidak simetris. Semisal melihat karpet di manapun, rasanya mengganjal kalo melihat ujung karpet itu ada yang terlipat. Seringnya sajadah di rumah. Siapa pun yang baru saja menggunakannya pasti tidak melipatnya, atau hanya melipat sekenanya. Saya tak bisa menekan keinginan saya untuk melipat sajadah itu secara simetris, ujung ketemu ujung tepi ketemu tepi.
Ini contoh film pendek yang mengangkat kelainan ini. Buffer yak! :)



Mungkin ini suatu kelainan. Tapi selama ini tidak parah, saya kok malah merasa biasa saja. Justru seperti contoh di atas, saya merasa menjadi orang yang menuntut penuh perfeksionitas. Mungkin ada teman-teman yang maun berbagi cerita tentang OCD-nya?



Tuesday, June 14

Negeri Kemeja [cerpen]







Negeri Kemeja




                Suatu ketika aku ditunjukkan kepada penduduk kaum suatu negeri. Negeri kemeja. Pernah kudengar sebuah tempat bernama negeri topeng1), tapi belum pernah sekalipun aku mengetahui tempat bernama negeri kemeja. Suatu negeri di mana setiap penduduknya memakai kemeja. Kemeja yang bermacam-macam, dari berwarna putih hingga hitam. Ada sekumpulan manusia yang mengenakan kemeja yang sama. Banyak jumlahnya. Manusia yang memakai kemeja yang sama berkelompok dengan jenis kemejanya. Aku seperti melihat reuni bermacam-macam keluarga besar.
                Kebanyakan kemeja berwarna putih dan merah. Dari mulai bercorak bulan, bintang, tanda plus, bungai teratai, segi enam, hingga corak seperti kincir angin. Tunggu. Mereka ada juga yang telanjang. Namun mereka tak merasa malu. Di negeri mana gerangan aku sekarang2)? Negeri kemeja? Adakah suatu negeri yang semua penduduknya memakai kemeja selain telanjang? Mimpikah aku ini? Ini tidak mungkin mimpi. Karena aku tak pernah benar-benar terlelap.
                 “Hai Tuan, mengapa kalian menyebut kami kafir?” tanya pria berkemeja bintang.
                 “Lalu kalau begitu, dengan sebutan apa kalian menyebut golongan kami?” jawab pria berkemeja bulan.
                 “Kurasa kafir juga,” jawab pria berkemeja bintang.
                Lalu keduanya tertawa. Benar-benar tertawa lepas penuh keakraban. Aneh. Bagaimana bisa dua orang yang saling tuding-menuding kafir bisa bahagia seperti itu. Sungguh negeri kemeja yang aneh. Tiba-tiba pria berkemeja bulan dan pria berkemeja bintang diam terkesiap menatap ke arahku. Aku takut bukan kepalang. Pikiranku melayang bagaimana jika mereka menangkapku dan membuat tubuhku menjadi sup makan malam. Tapi tidak. Mereka menghampiriku penuh senyum dan menyapaku.
                 “Hai Tuan, mengapa kau tidak memakai kemeja?” tanya pria berkemeja bintang.
                 “Aku bukan orang dari negeri ini,” jawabku.
                 “Lalu dari negeri tak berkemeja manakah kau berasal?” tanya pria berkemeja bulan.
                 “Aku dari negeri di mana benar menjadi salah dan salah menjadi benar,” jawabku.
                 “Pantas. Memang seperti itulah tabiat manusia negeri tak berkemeja,” tukas pria berkemeja bulan.
                 “Kalau begitu, karena kau di sini kau harus memakai kemeja. Janganlah kau memakai kain tak berkancing itu. Apalagi kalau kau sampai telanjang seperti mereka,” kata pria berkemaja bulan kembali.
                 “Iya. Maukah kau memakai kemeja bulan seperti yang aku pakai ini? Maka kujamin kau tidak akan kelaparan dan kedinginan di sini,” bujuk pria berkemeja bintang.
                 “Jangan. Pakailah kemeja bulan ini! Maka kau akan merasa aman dan damai penuh cinta,” bujuk pria berkemeja bulan.
                 “Maaf. Aku baru di sini. Aku masih perlu belajar banyak mengenai kebiasaan kalian. Aku tidak bisa dengan mudah memutuskan,” jawabku.
                 “Bertanyalah maka kami akan menjawab!” jawab pria berkemeja bulan dan pria berkemeja bintang serempak.
                 “Baiklah. Akan kucoba hidup bersama salah satu dari kalian satu hari saja. Maka dengan begitu aku akan belajar,” pungkasku.
                Dari mengocok undian, melempar batu, dan menebak angka, terpilihlah pria berkemeja bulan yang akan kucoba hidup bersamanya.
                Aku kini hidup di lingkungan manusia berkemeja bulan. Entah mengapa mereka bisa menemukan motif bulan untuk kemejanya. Sebab malam di negeri ini sama sekali tak ada bulan, atau mungkin belum musimnya. Saat kutanya pria berkemeja bulan hanya menjawab: “Saat kau mempercayai sesuatu, kau tidak perlu melihat sesuatu itu secara langsung, cukup mempercayai bahwa kau sedang melihatnya atau sesuatu itu sedang melihatmu”. Jawaban yang mendalam dan filososif, tapi sama sekali tak menjawab pertanyaanku.
                Pria berkemeja bulan yang kutemui tadi yang sekarang aku hidup bersamanya sangat bijaksana. Dia menjelaskan setiap yang kutanyakan. Bahkan dia menjelaskan apa yang tidak aku tanyakan. Aku tak tahu apakah pria berkemeja bintang tadi juga seperti itu. Atau mungkin semua pria berkemeja di sini seperti itu.
                Dengan dekat kepada mereka aku semakin mengenali mereka. Dari sekumpulan manusia berkemeja bulan, tak semua kemeja yang mereka kenakan bersih dan berwarna cerah. Ada yang kusam bahkan penuh bercak.
                 “Ada apa gerangan dengan mereka, Tuan?” tanyaku.
                 “Kemeja melambangkan kedamaian hati setiap manusia. Orang yang kemejanya putih atau cerah pastilah ia orang baik yang hidupnya penuh kedamaian dan ketentraman. Sedangkan orang yang kemejanya kusam, ia adalah orang yang ragu-ragu dalam hidupnya. Dan orang yang kemejanya bercak hitam, itulah orang yang benar-benar sesat dan kafir,” jawab pria berkemeja bulan.
                 “Kafir? Kau tadi juga menyebut pria berkemeja bintang dengan sebutan kafir. Padahal kemeja orang itu putih cerah,” tanyaku.
                 “Di sini, orang yang tidak memakai kemeja seperti kemeja yang kau pakai, maka kau boleh menyebutnya kafir,” tukas pria itu.
                 “Lalu mengapa kau tidak memberikan saja mereka kemeja seperti yang kau pakai? Atau mengapa kau saja yang sekali-kali memakai kemeja mereka,” kataku.
                 “Kemejamu kemejamu, kemejaku kemejaku,” jawab pria itu singkat.
                Kemeja melambangkan kedamaian hati setiap manusia. Satu saja kau memilihnya dan mempercayainya, maka kau akan merasa nyaman untuk terus memakainya. Mungkin suatu saat kau akan melihat noda di kemeja orang lain, namun orang itu akan tetap memakainya karena ia merasa nyaman dengan kemeja itu. Mungkin suatu saat kau akan melihat kemeja orang lain penuh dengan lubang dan tambalan, mungkin orang itu tidak tahu akan lubang di kemejanya dan jika ia berterima kasih karena kau telah mengingatkannya, maka kau bisa memberikan kemejamu. Namun jika orang itu tetap memakai kemejanya meski telah kau ingatkan, itu artinya ia benar-benar nyaman dengan kemejanya. Kau tidak bisa memaksa mereka untuk memakai kemejamu. Ingat-ingat itu!
                Ketahuilah! Hanya sedikit orang di negeri ini yang benar-benar mencari dan memilih kemejanya sendiri. Kebanyakan dari mereka hanya memakai kemeja seperti kemeja yang leluhurnya pakai. Kemeja yang diwariskan. Maka dari itu janganlah memaksa mereka untuk menukar kemejanya.
                Mungkin jika di negerimu, kau harus memberi kemeja kepada mereka yang telanjang. Tapi jangan pernah kau lakukan itu di sini karena kau akan mereka tertawakan. Bagi mereka yang telanjang di sini, kemeja tidak berarti bagi mereka. Mereka tidak mempercayai bahwa kemeja dapat membawa kehangatan dan kedamaian bagi mereka. Mereka lebih suka telanjang yang berarti kebebasan. Mereka tak ubahnya seperti binatang di sini, tak berkemeja. Namun mereka membenci jika kau serupakan mereka dengan itu.
                Hmm. Penjelasan yang panjang dan penuh kiasan. Namun cukup untuk mengusir rasa keingintahuanku. Berbeda dengan negeriku, Negeri Benar-menjadi-salah-dan-salah-menjadi-benar, kemeja seperti itu tak berlaku lagi. Bagiku kemeja apapun yang dipakai penduduk negeriku, mereka telanjang. Bahkan binatang berkemeja lebih baik dari mereka. Pemimpin kawanan berkemeja motif tikus. Kawanan biasa berkemeja motif cicak. Karnivora berkemeja motif timbangan atau palu. Si mangsa berkemeja motif padi lapuk atau kapas basah. Sebenarnya di negeri mana gerangan aku sekarang?
                 “Jadi, maukah kau tukar kain di tubuhmu itu dengan kemeja bulan seperti milikku ini?” terakhir pria berkemeja bulan itu berkata kepadaku.
                 “Kemejamu kemejamu, kemejaku kemejaku. Seseorang tidak bisa memaksa orang lain untuk memakai kemeja seperti yang ia pakai,” jawabku penuh kemenangan.
                 “Kalau begitu pulanglah! Tempatmu bukan di sini,”
                Seketika setelah pria berkemeja bulan itu selesai berkata, aku terlempar seolah-olah ada seseorang yang menarikku dari belakang dengan kuat. Atau bahkan ada seseorang yang meniupku dari depan dengan kencang. Dan dengan sekali hentakan tiba-tiba aku tersadar telah berada di negeriku sendiri, Negeri Benar-menjadi-salah-dan-salah-menjadi-benar.





Pekalongan, 10 Juni 2011





1) Baca cerpen “Topeng Kehidupan” karya Laela S. Chudori
2) Dikutip dari puisi “Kupu-kupu di Dalam Buku” karya Taufiq Ismail

Tuesday, June 7

Lidi-lidi [cerpen]







Lidi-lidi



                Sebelum bara api di sebatang lidi itu padam, simaklah bagaimana semua ini berawal. Mula-mula kau adalah seorang pecundang, kau sama sekali tak populer, bahkan kau tak berkawan selain pensil dan buku harianmu. Di lembaran buku harian itulah kau guratkan pensilmu kuat-kuat hanya untuk menuliskan catatan tentang kebodohanmu. Seolah-olah banyak sekali orang yang kau benci. Kau menulisnya dengan emosi yang meledak-ledak hingga berkali-kali ujung pensilmu patah. Namun kau selalu merautnya, dan begitu seterusnya. Kau tak ubahnya seperti manusia paling cengeng sedunia yang hanya bisa mengadu kepada buku harian dan sebatang pensil yang tak pernah jauh dari bantalmu. Namun bagaimana pun kau telah berhasil menciptakan aku. Satu-satunya teman yang kau miliki, meski aku hanya ada dalam alam imajinasimu. Ya, akulah teman mayamu.
                Mungkin bagi orang lain kau akan terlihat gila dengan berbicara sendiri sambil tanganmu tak berhenti menulis catatan-catatanmu. Namun bagiku, begitulah caramu berbicara denganku. Lama-lama aku kasihan juga dengan apa yang kau alami. Aku tahu aku tak bisa melakukan apa-apa karena semua kendali ada dalam kehendakmu. Lalu kehendakmu menyuruhku untuk melakukan sesuatu. Namun, waktu itu hanya sebatang lidi yang sanggup kuberikan padamu.
                “Apa ini? Lidi? Kau memang bodoh.”
                Kau menampik lidi pemberianku sebelum aku menjelaskan perihal lidi itu. Itulah dirimu. Sebenarnya kau yang bodoh. Sangat bodoh. Kau mulai melunak setelah kukeluarkan sekotak korek api.
                “Lidi? Korek api? Kau minta aku bersembahyang dengan lidi ini?”
                Lagi-lagi kau menunjukkan kebodohanmu. Mana ada bersembahyang dengan lidi. Kalau aku memintamu bersembahyang, maka aku akan memberimu sebatang hio bukan lidi. Namun memang akan seperti itulah caramu menggunakan lidi itu. Mirip dengan hio yang dibakar. Namun bedanya kali ini tak ada mantra doa atau pujian kepada Tuhan.
                “Lalu? Apa Tuhan akan mendengar ceritaku lewat sebatang lidi yang dibakar?”
                Aku sedikit geli mendengar pertanyaanmu itu. Namun sebisa mungkin aku tahan agar tawaku tak meledak yang bisa membuat kau naik pitam dan menampik lidi itu kembali. Dengan sabar aku menjelaskannya kepadamu. Kuambil buku harianmu, kusobek sedikit tepiannya. Kau terlihat kaget dan marah, namun rasa penasaranmu mengalahkan emosimu. Aku memintamu untuk menuliskan nama orang yang paling kau benci pada sobekan kertas itu. Lalu lilitkan pada sebatang lidi tadi dan rekatkan dengan ludahmu. Tancapkan lidi itu pada tanah dan bakar ujungnya.
                “Tunggu!”
                “Apa ludah bisa merekatkan kertas pada lidi?”
                “Apa lidi bisa dibakar layaknya hio?”
                Kau benar-benar tidak tahu. Itulah lidi yang kau ambil dalam diriku yang terus kau tuntut. Dan pasti itu bukan sembarang lidi. Dengan cara apa lagi aku menjelaskannya kepadamu.
                “Oh begitu. Lalu apa yang akan terjadi pada orang yang tertulis pada kertas itu?
                Kau benar-benar tidak bisa diam dan menunggu saja. Kau terus menuntutku dengan pertanyaan-pertanyaanmu. Terpaksa aku harus memberitahukan kepadamu. Kau perlu tahu, bahwa orang yang tertulis pada kertas itu akan mati seiring dengan matinya bara api pada lidi itu.
                “Bagus. Itulah yang selama ini aku impikan. Membunuh tanpa membunuh.”
                Ternyata hatimu busuk juga. Jika harus memilih dilahirkan, aku tidak mau lahir dari buah imajinasimu. Tapi mungkin itulah yang ditakdirkan. Aku harus mendampingimu karena kau terlalu bodoh untuk hidup sendirian.
                “Tunggu!”
                “Lidi ini hanya satu. Sedangkan banyak orang yang aku benci.”
                Ah kau benar-benar banyak pintanya. Memangnya seberapa banyak orang kau ingin kau bunuh. Tenang saja. Jika bara api di lidi itu padam, artinya orang yang tertulis pada kertas itu telah mati. Dan kau tinggal cabut lidi itu dari tanah. Maka lidi itu akan tiada terputus hingga ukuran seperti semula. Dan kau tinggal mengulangi pekerjaan busukmu.
                Begitulah. Semenjak itu kau rajin membuat daftar orang-orang yang kau benci. Kau urutkan dari yang benar-benar kau benci hingga orang yang hanya kau benci dari penampilannya. Dan satu persatu orang-orang itu mati dan menghilang dari kehidupanmu. Ada yang mati tercekik, tergantung, jatuh, hingga tenggelam dan menghilang. Tidak hanya dari orang-orang di lingkunganmu. Bahkan mantan guru dan pengemis menyebalkan turut kau masukkan dalam daftar. Aku takut kau akan kecanduan. Aku takut kau akan tersundut bara apimu sendiri kelak. Kau tidak lagi berkutat dengan buku harianmu. Kau justru menggunting buku harianmu kecil-kecil dan kau gunakan untuk mainan barumu. Sambil tertawa dan penuh rasa puas kau menyulut ujung lidi itu tiap malam.
                Orang-orang di lingkunganmu mulai aneh dengan tingkah lakumu. Kau berubah. Dari cara berjalanmu, kau kini tak lagi menundukkan kepala. Kini kau membusungkan dada setinggi-tingginya. Matamu tajam mencari orang-orang yang mungkin bisa saja kau benci dalam pandangan pertama. Setiap orang yang terlibat hal yang tak menyenangkan denganmu, pasti malam harinya kau tuliskan namanya dalam kertas, tak peduli masih banyak daftar yang antri menunggu untuk kau bunuh. Orang-orang mulai menyadari apa yang kau lakukan. Mereka tahu bahwa siapa pun orang yang tak menyenangkan bagimu, pasti keesokan harinya orang tersebut ramai diberitakan mati.
                Sejak saat itu kau menjadi bahan pembicaraan sebagai manusia penyembah setan dan penganut ilmu hitam. Orang-orang mulai menjauhimu. Siapa pun yang berpapasan denganmu pasti akan menghindar dengan berlari dan menutupi wajahnya, bahkan ada yang merapal doa. Hingga sampai pada satu hari, tempat di mana kau berada nyaris tak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Kau benar-benar sendiri. Semula kau bermaksud untuk menyingkirkan orang-orang kau benci hingga menyisakan orang-orang yang kau suka. Namun perbuatanmu justru membuat semua orang benar-benar menjauhimu. Kau pun geram. Kini kau tak peduli lagi. Seketika itu juga saat menjumpai buku harian dan pensilmu, kau langsung menuliskan semua nama yang terlintas di pikiranmu. Bahkan kau sampai mengingat-ingat apa ada nama yang terlewat. Sungguh kau kelewatan. Kau ingin membunuh semua orang yang kau ketahui. Tatapanmu menciutkan nyaliku. Aku diam. Aku takut kalau kau tiba-tiba menambahkan namaku dalam daftar itu. Tapi tunggu dulu. Aku bahkan tak punya nama. Namaku adalah namamu. Kau mati aku mati. Aku mati kau hampa.
                Aku pikir kau benar-benar keterlaluan. Kau kelewatan. Meski aku hanya tokoh ciptaanmu yang berpikir dan berbuat sesuai dengan kehendakmu. Tapi ketahuilah, aku punya sedikit kehendak bebas untuk memberontak kepadamu. Meski nyawa taruhannya. Tapi tak apa, bahkan aku tak benar-benar hidup. Maaf aku terpaksa melakukan ini.
                Tahukah kau semalam tadi aku bangun dari tidurmu. Aku berusaha setenang mungkin agar aku tidak membangunkanmu. Agar kau tetap melanjutkan mimpi-mimpi kejimu yang sudah tak sanggup lagi aku simak. Lalu kuambil buku harianmu. Lihat, separuh tebal halaman ke belakang penuh dengan nama-nama manusia. Lima ratus empat puluh delapan baris kau gunakan untuk menulis daftar orang-orang yang hendak kau matikan seperti matinya bara api pada lidi. Padahal kau tahu jumlah batang pada sekotak korek api tak mungkin mencapai lima ratus empat puluh delapan batang. Tunggu. Aku belum memberitahukanmu bahwa kesempatan yang bisa kau mainkan adalah sebanyak jumlah batang pada sekotak korek api itu. Dan kau sama sekali tak menyisakan batang pada kotak korek api.
                Bara api baru mencapai tiga perempat batang lidi. Masuh jauh dari lilitan kertas yang entah nama siapa yang tertulis di dalamnya. Buru-buru kulepas lilitan kertas itu. Luar biasa. Kau menuliskan lima nama sekaligus dalam secarik kertas kecil itu. Kini saatnya kuakhiri permainan yang dulu aku memulainya. Kutulis lengkap namamu pada selembar kertas kosong dan kulilitkan pada sebatang lidi yang sepertiganya telah habis terbakar. Kuharap aku tak menyesal dengan apa yang kulakukan ini. Ya, aku sama sekali tak menyesal. Bahkan kuanggap ini sebagai penebusan dosaku karena dahulu aku telah mengajarkan cara membunuh orang tanpa membunuh kepadamu. Kini saatnya aku memberhentikan permainan konyolmu. Tanpa batang korek dari sekotak korek api itu, permainan ini tak dapat dimulai kembali. Bahkan esok tak ada lagi orang yang akan mencabut lidi itu dari tanah, batinku.
                Kau kelimpungan. Kau mengerang kesakitan di sepertiga malam saat bara api mulai menyentuh tepian kertas. Kau tak tahu apa yang sedang terjadi. Kau menatapku. Aku berpura-pura juga tak tahu apa yang sedang terjadi. Keringat yang sepertinya dingin menyelimuti tubuhmu. Tingkahmu seperti anjing kena racun. Sebentar mengerang sebentar mengejang. Tanganmu mencekik lehermu sendiri. Matamu melotot hendak keluar menatap tajam ke arahku. Sementara aku sudah tak merasakan kerasnya tanganku yang mengepal. Kurasakan juga tubuhku mulai timbul tenggelam samar-samar dalam temaram.
                Pagi hendak menjelang. Sebatang lidi tinggal seukuran kuku ibu jari. Luar biasa kau masih bisa bertahan. Seperti itu jugalah rasa orang-orang yang kau benci saat kau menulis nama mereka pada secarik kertas. Agaknya kau tahu. Tapi sebatang lidi yang nyaris habis tak bisa kembali lagi utuh. Tubuhmu lebam dengan posisi tangan mencekik lehermu sendiri. Kau sama sekali tak bergerak kecuali kedua bola matamu yang hendak meloncat terus bergerak-gerak mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Suara eranganmu yang sama sekali tak pernah sampai ke mulut seolah bertanya-tanya, atau minta tolong, atau menyesal, atau bahkan kau mengumpat. Ah, kini aku tak peduli. Aku kini hanya benda samar-samar setipis kabut. Namun aku masih mempunyai sisa tenaga hanya untuk menceritakan kembali apa yang sebenarnya terjadi. Mungkin cerita ini akan panjang.



Pekalongan, 6 Juni 2011

Wednesday, June 1

Fajar Gelap Kini







Tulisan ini diimpor dari Note Facebook saya.


Fajar gelap kini. Tak ada cahaya kecuali lampu-lampu beranda rumah dan satu dua lampu temaram di sudut jalan. Tak ada suara katak bernyanyi, entah. Hanya suara serangga pohon yang ramai bersahutan. Tak ada tanda-tanda kehidupan kecuali suara binatang malam, padahal fajar sudah dekat kini.

Fajar gelap kini. Angin dingin bercampur harum rumput basah menyeruak seisi kamarku ketika jelanda kubuka. Benar-benar tak ada kehidupan kecuali hanya seekor kucing di bawah semak itu yang sedang menjilati kelaminnya sendiri. Sia-sia. Tak kudapati satu pun manusia hidup. Kembali aku beringsut meringkuk di atas pembaringan, padahal fajar sudah amat dekat kini.

Fajar gelap kini. Sayup-sayup kudengar suara manusia. Tanda kehidupan dimulai oleh suara murrotal di kejauhan. Senang betul aku mendengarkan suara itu, meski terkadang suara itu mengalun menghilang terbawa angin. Ayam-ayam berkokok, sapi melenguh, dan kambing mengembik. Semua makhluk menampakkan kehidupannya kini. Tapi sama sekali tak kutemukan manusia berucap alhamdulillahiladzi padahal fajar sudah amat teramat dekat kini.

Fajar masih gelap kini. Gema takbir mengalun bertalu-talu dari segala penjuru. Maha Besar Allah, ya benar. Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah, ya benar. Mari dirikanlah sholat, ya jika manusia benar-benar terbangun. Mari menuju kemenangan, ya jika manusia mau berusaha dan terbangun kini. Sholat itu lebih baik daripada tidur, ya andai saja mereka mendengar dan tahu. Maha Besar Allah dan Tiada Tuhan selain-Nya, ya mereka tahu dan andai saja mereka taat. Fajar benar-benar tiba kini.

Fajar tak lagi gelap kini. Langit timur dan langit barat membuat gradasi terang-gelap yang cantik. Cahaya matahari mengintip di timur horison, kuat menembus dan menelusup dari balik daun pepohonan yang basah. Sunyi sejenak. Suara serangga berhenti. Sekawanan burung bergerombol meninggalkan pucuk-pucuk pohon. Satu per satu lampu beranda mati yang menunjukkan ada kehidupan dalam rumah itu. Ah, terlambat. Karena di surau tadi aku benar-benar sendirian. Tapi, mungkin saja mereka melakukannya di rumah masing-masing. Dan fajar terang kini.

Fajar sudah tak ada lagi. Matahari yang menggantung di timur sana mulai melakukan tugasnya. Aku malu kepada matahari. Ia tiap hari melakukan hal yang sama. Tapi tak pernah ia mengeluh. Tapi aku tahu jika suatu saat ia jengah dengan penduduk bumi, ia akan diterbitkan dari barat. Dan jika itu lebih baik, semoga tak ada lagi fajar.




Pekalongan, Kamis 7 April 2011

Saturday, April 30

Dialog Pendek







Tulisan di sini diimpor dari Note Facebook saya.

"Apakah mukjizat itu ada?"
"Ya, tentu saja ada."
"Apakah mukjizat bisa datang kepadaku?"
"Tidak. Mukjizat hanya ada untuk nabi dan rasul."
"Lalu apa nama untuk kejadian luar biasa yang bisa datang kepadaku?"
"Mungkin itu hanya keberuntungan dan anugerah Tuhan kepadamu."
"Apa kau percaya kalau takdir itu ada?"
"Ya, tentu saja ada."
"Apa kau percaya semua yang manusia alami telah ditakdirkan oleh Tuhan."
"Ya, tentu saja."
"Kalau begitu bolehkah saya tidak melakukan apa-apa karena semua telah ditakdirkan oleh Tuhan?"
"Berarti takdirmu hanya sampai di mana kau tidak melakukan apa-apa itu."
"Tapi bisakah anugerah Tuhan datang kepadaku sementara aku tidak melakukan apa-apa?"
"Bisa saja. Karena tak ada yang bisa menghalangi kehendak Tuhan."


Pekalongan, 27 April 2011

Saturday, April 23

Lagu Hujan dan Air Mata Malaikat






Tulisan di sini diimpor dari Note Facebook saya.


Tetes demi tetes air hujan turun berderap mendera bumi. Semakin lama semakin deras. Seolah berlomba siapa yang lebih dulu membasahi bumi. Burung-burung terbang melingkar mengawal hujan. Seolah menari memuja Tuhan yang menurunkan hujan. Alam bergembira saat ini.
Suara air hujan yang berderap di atas genting membawaku kepada kenyamanan yang dalam. Ditambah suara gemericik air yang mengenai perkakas taman menambahkan satu harmoni yang indah. Dan sayup-sayup suara gemuruh di kejauhan menambah perasaan damai dalam hatiku. Sayang, tak ada lagi suara katak di sini. Karena kebun-kebun dan sawah-sawah di sini telah berubah menjadi gedung. Ironis.
Tahukah kawan, dari mana hujan berasal?
Yang aku tahu, hujan turun akibat air laut yang menguap dan berubah menjadi tetes air di atas sana.
Tapi dengarkanlah kisah dari sahabatku ini mengenai hujan.
Hujan tidak berasal dari laut. Mengapa? Kalau hujan turun dari laut, kenapa tanah kita jarang turun hujan meski tanah kita dekat dengan laut. Lagipula air hujan tak asin seperti laut.
Tahukah kawan, hujan adalah tetesan air mata seratus juta malaikat yang menangis di atas sana.
Mengapa malaikat menangis?
Karena malaikat mengetahui apa yang terjadi dengan penduduk bumi. Setiap hari ada banyak manusia kelaparan. Tiap hari, ada banyak manusia teraniaya. Baik teraniaya oleh alam, manusia lain, atau dirinya sendiri. Lalu para manusia berdoa akan kesengsaraannya selama ini. Dan setiap bulir-bulir doa yang dipanjatkan akan naik ke atas menuju Tuhan. Dan malaikat tak sengaja mencuri dengar saat bulir-bulir doa itu melintasi langit mereka. Dan malaikat pun menangisi penderitaan manusia.
Dan tahukah kawan dari mana suara gemuruh berasal?
Saat malaikat menangis, malaikat menggunakan ujung sayap raksasanya untuk menyeka air matanya yang terus keluar. Dan setiap satu sayap bergerak akan menimbulkan suara kelebat. Seperti suara kepak sayap burung. Hanya saja sayap malaikat sejuta kali lebih besar dari sayap burung. Dan bayangkan sepasang sayap sejuta kali burung bergerak bersama oleh seratus juta malaikat. Sungguh menakjubkan.
Dan tahukah kawan, mengapa ketika pelangi muncul saat hujan berhenti?
Rupanya Allah mendengar tangisan malaikat dan bulir-bulir doa manusia. Dia Sang Maha Agung melukis pelangi dengan warna-warna yang indah untuk menghibur malaikat agar malaikat berhenti menangis. Tak hanya malaikat, manusia pun seringkali takjub akan keindahan pelangi lukisan Sang Pencipta hingga sejenak mereka melupakan penderitaannya. Dan sembari makhluk-Nya mengagumi pelangi, Tuhan bekerja mengabulkan satu per satu bulir doa manusia. Alam tengah bergembira saat ini.


Pekalongan, 27 Februari 2011

Tuesday, April 12

Suka buat video







Tau gak kalau saya punya genk (yang bener genk apa geng sih?). Nama genk saya itu adalah Odd-Wanted.



Tahu kan apa artinya Odd dan Wanted. Genk saya itu aneh-aneh. Salah satu misinya yaitu menghibur dunia lewat sebuah foto dan video. Ya, genk saya suka bikin foto dan video. Dari yang serius hingga yang aneh-aneh.

Ini contoh video-video Odd-Wanted,
Ini video pertama Odd-Wanted,





Ini sekuel kedua dari video Odd-Wanted di atas. Video yang ini pernah tayang di Narsis[dot]tv di Global TV,




Kalau video ini lumayan serius nih,




Kalau ini gak penting banget,
















Kalau video ini untuk ikutan kontes Fruit Tea Cari Bintang Gokil. Pernah tampil di Trans 7 lho,




Nah, kalo yang ini video terakhir kita buat. Masih fresh,





Sebenarnya masih ada lagi lho video-video Odd-Wanted, tapi kalau ditampilkan semua takut yang nonton pada demam. Gimana. Monggo dibuffer.

Monday, April 11

Cantik itu berjilbab






Wanita berdada besar itu seksi, tapi tidaklah cantik.
Wanita dengan paha mulus itu seksi, tapi tidaklah cantik.
Wanita dengan rambut panjang tergerai itu seksi, tapi tidaklah cantik.
Cantik itu adalah wanita yang teguh dalam memakai jilbabnya


Ngomong apa sih saya ini. Ya begitulah. Orang-orang boleh beranggapan bahwa rambut adalah mahkota bagi perempuan. Namun bagi saya, jilbab adalah emas permata berlian yang menghiasi mahkota itu. Bayangkan jika sebuah mahkota terlapisi oleh emas, berlian, permata, zamrud, intan, maka ia tidak lagi menyerupai mahkota biasa, melainkan ia akan menyerupai sebuah perhiasan termahal di dunia.
Jilbab melindungi sang pemilik dari fitnah. Ya seperti itulah kira-kira. Coba jika Anda wanita (atau paling gak berpura-puralah menjadi wanita), melewati sekumpulan pria yang gak bener. Bayangkan apa yang bakal terjadi jika Anda saat itu memakai pakaian yang seksi. Paling Anda bakal diperkosa (bhahaha, lebay). Tapi coba jika Anda memakai pakaian jilbab full busana muslim. Ya juga akan diperkosa wong prianya bejat (plak plak, ngawur). Paling gak, orang akan segan dengan penampilan Anda.
Wah, pokoknya hati ini adem kalau melihat cewek-cewek memakai jilbab. Jilbab yang bener lho ya, bukan jilbab yang kalau ditarik ke belakang poninya kelihatan di tarik ke depan punggungnya kelihatan. Tapi bukannya saya tidak tertarik dengan wanita yang tak berjilbab lho ya. Saya benar-benar menghargai pilihan seseorang. Masak iya teman saya non-muslim saya paksa untuk pakai jilbab. Yang penting wanita melakukan apa yang telah menjadi kodratnya.

Nih, saya kasih contohnya,








Udah ah, nanti daripada dibilang yang enggak-enggak. Pokoknya kesimpulan, wanita berjilbab itu cantik kawan.
http://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html http://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html