Tuesday, June 7

Lidi-lidi [cerpen]







Lidi-lidi



                Sebelum bara api di sebatang lidi itu padam, simaklah bagaimana semua ini berawal. Mula-mula kau adalah seorang pecundang, kau sama sekali tak populer, bahkan kau tak berkawan selain pensil dan buku harianmu. Di lembaran buku harian itulah kau guratkan pensilmu kuat-kuat hanya untuk menuliskan catatan tentang kebodohanmu. Seolah-olah banyak sekali orang yang kau benci. Kau menulisnya dengan emosi yang meledak-ledak hingga berkali-kali ujung pensilmu patah. Namun kau selalu merautnya, dan begitu seterusnya. Kau tak ubahnya seperti manusia paling cengeng sedunia yang hanya bisa mengadu kepada buku harian dan sebatang pensil yang tak pernah jauh dari bantalmu. Namun bagaimana pun kau telah berhasil menciptakan aku. Satu-satunya teman yang kau miliki, meski aku hanya ada dalam alam imajinasimu. Ya, akulah teman mayamu.
                Mungkin bagi orang lain kau akan terlihat gila dengan berbicara sendiri sambil tanganmu tak berhenti menulis catatan-catatanmu. Namun bagiku, begitulah caramu berbicara denganku. Lama-lama aku kasihan juga dengan apa yang kau alami. Aku tahu aku tak bisa melakukan apa-apa karena semua kendali ada dalam kehendakmu. Lalu kehendakmu menyuruhku untuk melakukan sesuatu. Namun, waktu itu hanya sebatang lidi yang sanggup kuberikan padamu.
                “Apa ini? Lidi? Kau memang bodoh.”
                Kau menampik lidi pemberianku sebelum aku menjelaskan perihal lidi itu. Itulah dirimu. Sebenarnya kau yang bodoh. Sangat bodoh. Kau mulai melunak setelah kukeluarkan sekotak korek api.
                “Lidi? Korek api? Kau minta aku bersembahyang dengan lidi ini?”
                Lagi-lagi kau menunjukkan kebodohanmu. Mana ada bersembahyang dengan lidi. Kalau aku memintamu bersembahyang, maka aku akan memberimu sebatang hio bukan lidi. Namun memang akan seperti itulah caramu menggunakan lidi itu. Mirip dengan hio yang dibakar. Namun bedanya kali ini tak ada mantra doa atau pujian kepada Tuhan.
                “Lalu? Apa Tuhan akan mendengar ceritaku lewat sebatang lidi yang dibakar?”
                Aku sedikit geli mendengar pertanyaanmu itu. Namun sebisa mungkin aku tahan agar tawaku tak meledak yang bisa membuat kau naik pitam dan menampik lidi itu kembali. Dengan sabar aku menjelaskannya kepadamu. Kuambil buku harianmu, kusobek sedikit tepiannya. Kau terlihat kaget dan marah, namun rasa penasaranmu mengalahkan emosimu. Aku memintamu untuk menuliskan nama orang yang paling kau benci pada sobekan kertas itu. Lalu lilitkan pada sebatang lidi tadi dan rekatkan dengan ludahmu. Tancapkan lidi itu pada tanah dan bakar ujungnya.
                “Tunggu!”
                “Apa ludah bisa merekatkan kertas pada lidi?”
                “Apa lidi bisa dibakar layaknya hio?”
                Kau benar-benar tidak tahu. Itulah lidi yang kau ambil dalam diriku yang terus kau tuntut. Dan pasti itu bukan sembarang lidi. Dengan cara apa lagi aku menjelaskannya kepadamu.
                “Oh begitu. Lalu apa yang akan terjadi pada orang yang tertulis pada kertas itu?
                Kau benar-benar tidak bisa diam dan menunggu saja. Kau terus menuntutku dengan pertanyaan-pertanyaanmu. Terpaksa aku harus memberitahukan kepadamu. Kau perlu tahu, bahwa orang yang tertulis pada kertas itu akan mati seiring dengan matinya bara api pada lidi itu.
                “Bagus. Itulah yang selama ini aku impikan. Membunuh tanpa membunuh.”
                Ternyata hatimu busuk juga. Jika harus memilih dilahirkan, aku tidak mau lahir dari buah imajinasimu. Tapi mungkin itulah yang ditakdirkan. Aku harus mendampingimu karena kau terlalu bodoh untuk hidup sendirian.
                “Tunggu!”
                “Lidi ini hanya satu. Sedangkan banyak orang yang aku benci.”
                Ah kau benar-benar banyak pintanya. Memangnya seberapa banyak orang kau ingin kau bunuh. Tenang saja. Jika bara api di lidi itu padam, artinya orang yang tertulis pada kertas itu telah mati. Dan kau tinggal cabut lidi itu dari tanah. Maka lidi itu akan tiada terputus hingga ukuran seperti semula. Dan kau tinggal mengulangi pekerjaan busukmu.
                Begitulah. Semenjak itu kau rajin membuat daftar orang-orang yang kau benci. Kau urutkan dari yang benar-benar kau benci hingga orang yang hanya kau benci dari penampilannya. Dan satu persatu orang-orang itu mati dan menghilang dari kehidupanmu. Ada yang mati tercekik, tergantung, jatuh, hingga tenggelam dan menghilang. Tidak hanya dari orang-orang di lingkunganmu. Bahkan mantan guru dan pengemis menyebalkan turut kau masukkan dalam daftar. Aku takut kau akan kecanduan. Aku takut kau akan tersundut bara apimu sendiri kelak. Kau tidak lagi berkutat dengan buku harianmu. Kau justru menggunting buku harianmu kecil-kecil dan kau gunakan untuk mainan barumu. Sambil tertawa dan penuh rasa puas kau menyulut ujung lidi itu tiap malam.
                Orang-orang di lingkunganmu mulai aneh dengan tingkah lakumu. Kau berubah. Dari cara berjalanmu, kau kini tak lagi menundukkan kepala. Kini kau membusungkan dada setinggi-tingginya. Matamu tajam mencari orang-orang yang mungkin bisa saja kau benci dalam pandangan pertama. Setiap orang yang terlibat hal yang tak menyenangkan denganmu, pasti malam harinya kau tuliskan namanya dalam kertas, tak peduli masih banyak daftar yang antri menunggu untuk kau bunuh. Orang-orang mulai menyadari apa yang kau lakukan. Mereka tahu bahwa siapa pun orang yang tak menyenangkan bagimu, pasti keesokan harinya orang tersebut ramai diberitakan mati.
                Sejak saat itu kau menjadi bahan pembicaraan sebagai manusia penyembah setan dan penganut ilmu hitam. Orang-orang mulai menjauhimu. Siapa pun yang berpapasan denganmu pasti akan menghindar dengan berlari dan menutupi wajahnya, bahkan ada yang merapal doa. Hingga sampai pada satu hari, tempat di mana kau berada nyaris tak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Kau benar-benar sendiri. Semula kau bermaksud untuk menyingkirkan orang-orang kau benci hingga menyisakan orang-orang yang kau suka. Namun perbuatanmu justru membuat semua orang benar-benar menjauhimu. Kau pun geram. Kini kau tak peduli lagi. Seketika itu juga saat menjumpai buku harian dan pensilmu, kau langsung menuliskan semua nama yang terlintas di pikiranmu. Bahkan kau sampai mengingat-ingat apa ada nama yang terlewat. Sungguh kau kelewatan. Kau ingin membunuh semua orang yang kau ketahui. Tatapanmu menciutkan nyaliku. Aku diam. Aku takut kalau kau tiba-tiba menambahkan namaku dalam daftar itu. Tapi tunggu dulu. Aku bahkan tak punya nama. Namaku adalah namamu. Kau mati aku mati. Aku mati kau hampa.
                Aku pikir kau benar-benar keterlaluan. Kau kelewatan. Meski aku hanya tokoh ciptaanmu yang berpikir dan berbuat sesuai dengan kehendakmu. Tapi ketahuilah, aku punya sedikit kehendak bebas untuk memberontak kepadamu. Meski nyawa taruhannya. Tapi tak apa, bahkan aku tak benar-benar hidup. Maaf aku terpaksa melakukan ini.
                Tahukah kau semalam tadi aku bangun dari tidurmu. Aku berusaha setenang mungkin agar aku tidak membangunkanmu. Agar kau tetap melanjutkan mimpi-mimpi kejimu yang sudah tak sanggup lagi aku simak. Lalu kuambil buku harianmu. Lihat, separuh tebal halaman ke belakang penuh dengan nama-nama manusia. Lima ratus empat puluh delapan baris kau gunakan untuk menulis daftar orang-orang yang hendak kau matikan seperti matinya bara api pada lidi. Padahal kau tahu jumlah batang pada sekotak korek api tak mungkin mencapai lima ratus empat puluh delapan batang. Tunggu. Aku belum memberitahukanmu bahwa kesempatan yang bisa kau mainkan adalah sebanyak jumlah batang pada sekotak korek api itu. Dan kau sama sekali tak menyisakan batang pada kotak korek api.
                Bara api baru mencapai tiga perempat batang lidi. Masuh jauh dari lilitan kertas yang entah nama siapa yang tertulis di dalamnya. Buru-buru kulepas lilitan kertas itu. Luar biasa. Kau menuliskan lima nama sekaligus dalam secarik kertas kecil itu. Kini saatnya kuakhiri permainan yang dulu aku memulainya. Kutulis lengkap namamu pada selembar kertas kosong dan kulilitkan pada sebatang lidi yang sepertiganya telah habis terbakar. Kuharap aku tak menyesal dengan apa yang kulakukan ini. Ya, aku sama sekali tak menyesal. Bahkan kuanggap ini sebagai penebusan dosaku karena dahulu aku telah mengajarkan cara membunuh orang tanpa membunuh kepadamu. Kini saatnya aku memberhentikan permainan konyolmu. Tanpa batang korek dari sekotak korek api itu, permainan ini tak dapat dimulai kembali. Bahkan esok tak ada lagi orang yang akan mencabut lidi itu dari tanah, batinku.
                Kau kelimpungan. Kau mengerang kesakitan di sepertiga malam saat bara api mulai menyentuh tepian kertas. Kau tak tahu apa yang sedang terjadi. Kau menatapku. Aku berpura-pura juga tak tahu apa yang sedang terjadi. Keringat yang sepertinya dingin menyelimuti tubuhmu. Tingkahmu seperti anjing kena racun. Sebentar mengerang sebentar mengejang. Tanganmu mencekik lehermu sendiri. Matamu melotot hendak keluar menatap tajam ke arahku. Sementara aku sudah tak merasakan kerasnya tanganku yang mengepal. Kurasakan juga tubuhku mulai timbul tenggelam samar-samar dalam temaram.
                Pagi hendak menjelang. Sebatang lidi tinggal seukuran kuku ibu jari. Luar biasa kau masih bisa bertahan. Seperti itu jugalah rasa orang-orang yang kau benci saat kau menulis nama mereka pada secarik kertas. Agaknya kau tahu. Tapi sebatang lidi yang nyaris habis tak bisa kembali lagi utuh. Tubuhmu lebam dengan posisi tangan mencekik lehermu sendiri. Kau sama sekali tak bergerak kecuali kedua bola matamu yang hendak meloncat terus bergerak-gerak mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Suara eranganmu yang sama sekali tak pernah sampai ke mulut seolah bertanya-tanya, atau minta tolong, atau menyesal, atau bahkan kau mengumpat. Ah, kini aku tak peduli. Aku kini hanya benda samar-samar setipis kabut. Namun aku masih mempunyai sisa tenaga hanya untuk menceritakan kembali apa yang sebenarnya terjadi. Mungkin cerita ini akan panjang.



Pekalongan, 6 Juni 2011

0 komentar:

Post a Comment

Mohon tinggalkan jejak kawan..

http://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html http://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html