Tuesday, June 14

Negeri Kemeja [cerpen]







Negeri Kemeja




                Suatu ketika aku ditunjukkan kepada penduduk kaum suatu negeri. Negeri kemeja. Pernah kudengar sebuah tempat bernama negeri topeng1), tapi belum pernah sekalipun aku mengetahui tempat bernama negeri kemeja. Suatu negeri di mana setiap penduduknya memakai kemeja. Kemeja yang bermacam-macam, dari berwarna putih hingga hitam. Ada sekumpulan manusia yang mengenakan kemeja yang sama. Banyak jumlahnya. Manusia yang memakai kemeja yang sama berkelompok dengan jenis kemejanya. Aku seperti melihat reuni bermacam-macam keluarga besar.
                Kebanyakan kemeja berwarna putih dan merah. Dari mulai bercorak bulan, bintang, tanda plus, bungai teratai, segi enam, hingga corak seperti kincir angin. Tunggu. Mereka ada juga yang telanjang. Namun mereka tak merasa malu. Di negeri mana gerangan aku sekarang2)? Negeri kemeja? Adakah suatu negeri yang semua penduduknya memakai kemeja selain telanjang? Mimpikah aku ini? Ini tidak mungkin mimpi. Karena aku tak pernah benar-benar terlelap.
                 “Hai Tuan, mengapa kalian menyebut kami kafir?” tanya pria berkemeja bintang.
                 “Lalu kalau begitu, dengan sebutan apa kalian menyebut golongan kami?” jawab pria berkemeja bulan.
                 “Kurasa kafir juga,” jawab pria berkemeja bintang.
                Lalu keduanya tertawa. Benar-benar tertawa lepas penuh keakraban. Aneh. Bagaimana bisa dua orang yang saling tuding-menuding kafir bisa bahagia seperti itu. Sungguh negeri kemeja yang aneh. Tiba-tiba pria berkemeja bulan dan pria berkemeja bintang diam terkesiap menatap ke arahku. Aku takut bukan kepalang. Pikiranku melayang bagaimana jika mereka menangkapku dan membuat tubuhku menjadi sup makan malam. Tapi tidak. Mereka menghampiriku penuh senyum dan menyapaku.
                 “Hai Tuan, mengapa kau tidak memakai kemeja?” tanya pria berkemeja bintang.
                 “Aku bukan orang dari negeri ini,” jawabku.
                 “Lalu dari negeri tak berkemeja manakah kau berasal?” tanya pria berkemeja bulan.
                 “Aku dari negeri di mana benar menjadi salah dan salah menjadi benar,” jawabku.
                 “Pantas. Memang seperti itulah tabiat manusia negeri tak berkemeja,” tukas pria berkemeja bulan.
                 “Kalau begitu, karena kau di sini kau harus memakai kemeja. Janganlah kau memakai kain tak berkancing itu. Apalagi kalau kau sampai telanjang seperti mereka,” kata pria berkemaja bulan kembali.
                 “Iya. Maukah kau memakai kemeja bulan seperti yang aku pakai ini? Maka kujamin kau tidak akan kelaparan dan kedinginan di sini,” bujuk pria berkemeja bintang.
                 “Jangan. Pakailah kemeja bulan ini! Maka kau akan merasa aman dan damai penuh cinta,” bujuk pria berkemeja bulan.
                 “Maaf. Aku baru di sini. Aku masih perlu belajar banyak mengenai kebiasaan kalian. Aku tidak bisa dengan mudah memutuskan,” jawabku.
                 “Bertanyalah maka kami akan menjawab!” jawab pria berkemeja bulan dan pria berkemeja bintang serempak.
                 “Baiklah. Akan kucoba hidup bersama salah satu dari kalian satu hari saja. Maka dengan begitu aku akan belajar,” pungkasku.
                Dari mengocok undian, melempar batu, dan menebak angka, terpilihlah pria berkemeja bulan yang akan kucoba hidup bersamanya.
                Aku kini hidup di lingkungan manusia berkemeja bulan. Entah mengapa mereka bisa menemukan motif bulan untuk kemejanya. Sebab malam di negeri ini sama sekali tak ada bulan, atau mungkin belum musimnya. Saat kutanya pria berkemeja bulan hanya menjawab: “Saat kau mempercayai sesuatu, kau tidak perlu melihat sesuatu itu secara langsung, cukup mempercayai bahwa kau sedang melihatnya atau sesuatu itu sedang melihatmu”. Jawaban yang mendalam dan filososif, tapi sama sekali tak menjawab pertanyaanku.
                Pria berkemeja bulan yang kutemui tadi yang sekarang aku hidup bersamanya sangat bijaksana. Dia menjelaskan setiap yang kutanyakan. Bahkan dia menjelaskan apa yang tidak aku tanyakan. Aku tak tahu apakah pria berkemeja bintang tadi juga seperti itu. Atau mungkin semua pria berkemeja di sini seperti itu.
                Dengan dekat kepada mereka aku semakin mengenali mereka. Dari sekumpulan manusia berkemeja bulan, tak semua kemeja yang mereka kenakan bersih dan berwarna cerah. Ada yang kusam bahkan penuh bercak.
                 “Ada apa gerangan dengan mereka, Tuan?” tanyaku.
                 “Kemeja melambangkan kedamaian hati setiap manusia. Orang yang kemejanya putih atau cerah pastilah ia orang baik yang hidupnya penuh kedamaian dan ketentraman. Sedangkan orang yang kemejanya kusam, ia adalah orang yang ragu-ragu dalam hidupnya. Dan orang yang kemejanya bercak hitam, itulah orang yang benar-benar sesat dan kafir,” jawab pria berkemeja bulan.
                 “Kafir? Kau tadi juga menyebut pria berkemeja bintang dengan sebutan kafir. Padahal kemeja orang itu putih cerah,” tanyaku.
                 “Di sini, orang yang tidak memakai kemeja seperti kemeja yang kau pakai, maka kau boleh menyebutnya kafir,” tukas pria itu.
                 “Lalu mengapa kau tidak memberikan saja mereka kemeja seperti yang kau pakai? Atau mengapa kau saja yang sekali-kali memakai kemeja mereka,” kataku.
                 “Kemejamu kemejamu, kemejaku kemejaku,” jawab pria itu singkat.
                Kemeja melambangkan kedamaian hati setiap manusia. Satu saja kau memilihnya dan mempercayainya, maka kau akan merasa nyaman untuk terus memakainya. Mungkin suatu saat kau akan melihat noda di kemeja orang lain, namun orang itu akan tetap memakainya karena ia merasa nyaman dengan kemeja itu. Mungkin suatu saat kau akan melihat kemeja orang lain penuh dengan lubang dan tambalan, mungkin orang itu tidak tahu akan lubang di kemejanya dan jika ia berterima kasih karena kau telah mengingatkannya, maka kau bisa memberikan kemejamu. Namun jika orang itu tetap memakai kemejanya meski telah kau ingatkan, itu artinya ia benar-benar nyaman dengan kemejanya. Kau tidak bisa memaksa mereka untuk memakai kemejamu. Ingat-ingat itu!
                Ketahuilah! Hanya sedikit orang di negeri ini yang benar-benar mencari dan memilih kemejanya sendiri. Kebanyakan dari mereka hanya memakai kemeja seperti kemeja yang leluhurnya pakai. Kemeja yang diwariskan. Maka dari itu janganlah memaksa mereka untuk menukar kemejanya.
                Mungkin jika di negerimu, kau harus memberi kemeja kepada mereka yang telanjang. Tapi jangan pernah kau lakukan itu di sini karena kau akan mereka tertawakan. Bagi mereka yang telanjang di sini, kemeja tidak berarti bagi mereka. Mereka tidak mempercayai bahwa kemeja dapat membawa kehangatan dan kedamaian bagi mereka. Mereka lebih suka telanjang yang berarti kebebasan. Mereka tak ubahnya seperti binatang di sini, tak berkemeja. Namun mereka membenci jika kau serupakan mereka dengan itu.
                Hmm. Penjelasan yang panjang dan penuh kiasan. Namun cukup untuk mengusir rasa keingintahuanku. Berbeda dengan negeriku, Negeri Benar-menjadi-salah-dan-salah-menjadi-benar, kemeja seperti itu tak berlaku lagi. Bagiku kemeja apapun yang dipakai penduduk negeriku, mereka telanjang. Bahkan binatang berkemeja lebih baik dari mereka. Pemimpin kawanan berkemeja motif tikus. Kawanan biasa berkemeja motif cicak. Karnivora berkemeja motif timbangan atau palu. Si mangsa berkemeja motif padi lapuk atau kapas basah. Sebenarnya di negeri mana gerangan aku sekarang?
                 “Jadi, maukah kau tukar kain di tubuhmu itu dengan kemeja bulan seperti milikku ini?” terakhir pria berkemeja bulan itu berkata kepadaku.
                 “Kemejamu kemejamu, kemejaku kemejaku. Seseorang tidak bisa memaksa orang lain untuk memakai kemeja seperti yang ia pakai,” jawabku penuh kemenangan.
                 “Kalau begitu pulanglah! Tempatmu bukan di sini,”
                Seketika setelah pria berkemeja bulan itu selesai berkata, aku terlempar seolah-olah ada seseorang yang menarikku dari belakang dengan kuat. Atau bahkan ada seseorang yang meniupku dari depan dengan kencang. Dan dengan sekali hentakan tiba-tiba aku tersadar telah berada di negeriku sendiri, Negeri Benar-menjadi-salah-dan-salah-menjadi-benar.





Pekalongan, 10 Juni 2011





1) Baca cerpen “Topeng Kehidupan” karya Laela S. Chudori
2) Dikutip dari puisi “Kupu-kupu di Dalam Buku” karya Taufiq Ismail

0 komentar:

Post a Comment

Mohon tinggalkan jejak kawan..

http://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html http://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html