Saturday, December 31

Inikah Tahun Baru?








             Merayakan tahun baru. Apanya yang baru jika dari dulu perayaan ini selalu diulang-ulang. Tahunnya dong, digit belakangnya bertambah 1 angka. Lalu kenapa tidak disebut saja perayaan tahun kesekian plus satu. Maksudnya tahun baru harapan baru. Berarti dari dulu sampai sekarang ada banyak harapan jika setiap tahun ada harapan baru. Dua ribu sebelas harapan? Tapi menurut saya harapannya ya cuma itu-itu saja kok. Palingan tahun yang akan datang lebih bagus dari tahun yang lalu. Sudah.
             Menurut terawangan kasar saya, ada tiga macam orang yang merayakan tahun baru. Pertama memang niatan, kedua cuma ikut-ikut, dan ketiga kesempatan bawa pacar. Penjual terompet? Penjual terompet adalah salah satu orang yang menantikan tahun baru namun tidak merayakannya.
             Orang yang memang niatan adalah orang yang dari jauh-jauh hari sudah memimpikan perayaan tahun baru. Sudah siapin baju terbaik, benerin motor (dipakein knalpot ekstension super bising), beli terompet dan mercon, pasang tato temporary di sekujur wajah, sampai rela SMS-in orang lain satu-satu untuk ikut acaranya.
             Nah kalau orang sudah super niat bikin acara perayaan tahun baru, entah sekedar hangout atau konvoi, terus ngajak orang lain, pasti ada di antaranya yang cuma ikut-ikutan doang. Gak enak gue sama dia. Ya udahlah daripada nganggur. Ane ikut aja deh.
             Tahun baru adalah kesempatan ngajak pacar keluar (buat yang punya pacar doang). Cuma di tahun baru boleh bawa pacar sampai larut malam, bahkan sampai pagi. Dan bisa dibayangin gak apa yang mereka lakukan dari puncak tahun baru jam 12 malam hingga pagi hari? Mungkin kejebak macet di jalan, mungkin nonton pentas wayang kulit, mungkin ketiduran. Eh? Ketiduran apa ditidurkan?
             Nah itu menurut tipe orang. Kalau menurut tujuan orang merayakan tahun baru, lumayan banyak tujuannya. Dari mulai emang niat cari hiburan, cari jodoh, cuci mata lihat hotpants, nonton konser, konvoi, tawuran, party, mabok-mabokan, sampai pacaran yang negatif.
             Namun ada satu tujuan dengan alasan yang saya suka. Yaitu, kita jadikan tahun baru ini sebagai momentum instropeksi diri dan membuat resolusi. Nah ini betul. Tapi yang menjadi pertanyaan saya, kenapa mesti di tahun baru. Kenapa gak pas hari raya atau hari ulang tahun saja? Dan kenapa instropeksi diri dan resolusi diiringi dengan perayaan foya-foya? Beda dengan perayaan (yang tidak dirayakan) tahun baru Hijriyah misal. Ada doa akhir tahun dan awal tahun, yang intinya muhasabah. Tujuannya sih sama, hanya saja perayaan yang mengiringi yang berbeda.
             Manusia itu salah kaprah, dan mereka suka itu. Semakin bertambah tahun artinya semakin dekat dengan kiamat, dekat dengan kematian. Tapi kok malah foya-foya. Teringat kata-kata Mbah Kakung saya pas Idul Fitri bertahun-tahun lalu, “Kira-kira bisa menangi (mengalami) lebaran tahun depan gak ya?”. Oke tahun depannya mbah saya masih menangi, tapi gak ada yang tahu kalau lebaran tahun depannya mbah saya sudah almarhum.

Sunday, December 4

Kapitalisasi Tuhan






               Semua orang tahu dan paham bahwa Tuhan itu Maha Besar. Kecuali mereka golongan orang yang tak berpunya, tak mempunyai Tuhan di dalam hatinya (bisa Atheis, bisa juga orang beragama di KTP doang). Nah terlepas dari mereka punya Tuhan atau tidak, menjalankan perintah Tuhannya atau tidak, di sini saya ingin menulis tentang bagaimana cara menulis Tuhan.
               Semua orang yang pernah sekolah dan belajar bahasa Indonesia pasti tahu, bahwa dalam menulis nama sesuatu seperti nama orang, nama tempat, nama bulan, dan yang lainnya, terlebih nama Tuhan, harus ditulis dengan huruf awal kapital. Contoh Pekalongan, Juni, Dedy, Selasa, Suramadu, dan juga nama-nama untuk menyebut Tuhan. Jadi nama Tuhan, misal Allah, ya harus ditulis Allah pakai kapital, gak boleh nulis gini (maaf) allah. Saya selalu tersinggung setiap membaca nama Tuhan tanpa huruf kapital. Selain itu, dalam bahasa Inggris antara God dan god memiliki arti yang berbeda lho. God (huruf besar) adalah Tuhan, dan god (huruf kecil) berarti dewa. Jadi bisa disamaartikan kalau Tuhan (huruf besar) dan tuhan (huruf kecil) memiliki makna yang berbeda.
               Ah itu kan cuma dari segi bahasa, tulisan tidak penting, yang penting kan niat dalam hati. Nah kurang lebih kata-kata inilah yang terucap dari setiap orang yang pernah saya ingatkan tentang bagaimana cara menulis Tuhan yang benar. Dan pengalaman terburuk saya dalam mengingatkan perihal ini, saya pernah di-unfriend oleh seseorang. Oke jika seseorang mengelak dan beralasan seperti di atas, maka simak analogi di bawah ini!
               Perhatikan namamu di daftar absen atau di manapun yang penting di situ ada namamu! Apakah namamu ditulis dengan huruf besar atau huruf kecil? Setiap kali menulis surat, apakah nama orang yang kamu tujukan kamu tulis dengan huruf besar atau huruf kecil? Setiap kali ujian atau ulangan harian, saat mengisi identitasmu apakah kamu menulis namamu dengan huruf besar atau huruf kecil? Saya yakin semua kegiatan di atas saat menulis nama kamu pasti menulisnya dengan awalan huruf besar.
               Nah untuk urusan remeh-temeh yang sifatnya manusia seperti itu saja kamu sanggup menulis nama dengan huruf besar, lalu mengapa masih juga ada orang yang menulis nama Tuhan dengan huruf kecil. Kebanyakan hal ini ditemui pada jejaring sosial khususnya Facebook. Dan sudah menjadi kebiasaan, Facebook adalah tempat orang-orang mengeluh. Dan karena masyarakat kita beragama, maka dalam mengeluh mereka banyak menyertakan nama Tuhan. Namun sayang, orang yang banyak mengeluh biasanya bukan orang yang bijak, maka banyak dari mereka yang menulis Tuhan seenaknya tanpa huruf kapital. Alasannya buru-buru lah, ribet lah, lupa lah, dan yang paling parah malah ada yang balik tanya: “Emang penting?”. Astaghfirullah. Ya penting lah. Emang seberat apa sih menyisihkan satu jari untuk menekan tombol Shift sebentar saja. Tuhan telah menciptakan kita dengan sempurna, lalu kenapa kita malah menulis nama Tuhan secara tidak sempurna.
               Fenomena lain justru kebalikan. Saya pernah menemukan status seseorang yang berisi tentang kata-kata manis yang ditujukan kepada orang lain, dan parahnya dalam tulisan itu ia menulis –mu dan –ku dengan huruf besar sehingga menjadi –Mu dan –Ku (misal: untukMu, padaKu). Saya juga tersinggung dengan gaya tulisan seperti ini. Karena kata –Mu, –Ku, dan –Nya adalah hak prerogatif untuk kata ganti Tuhan. Kata ganti ini tidak dipakai untuk apapun dan siapapun di dunia kecuali untuk kata ganti Tuhan.
               Kesimpulannya, saya memang kolot, keras kepala, dan sedikit frontal. Bukan itu maksudnya -___- . Jadi kesimpulannya, nama Tuhan tidak boleh ditulis dengan sembarangan. Mungkin maksudnya benar, tapi kalau dilakukan dengan salah tetep aja itu gak baik. Oke jika masih ada yang ngotot hak asasi lah, gak penting lah, suka-suka lah, itu terserah dan kembali ke pribadi masing-masing. Lakum dinukum waliyadin, lo lo gue gue. Dan saya hanya ingat-mengingatkan perihal kebaikan, watawa shaubil haq. Tuhan itu Maha Besar, maka tulislah Ia dengan huruf besar.
http://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html http://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html