Thursday, June 23

Obsessive Compulsive Disorder







Saya yakin kalian pernah melakukan ini: menggoyang-goyangkan kaki, memainkan pulpen, menggigit-gigit jari, mengetuk-ngetuk meja, apalagi jika suasana sedang tegang atau saat bosan. Kalian melakukan itu secara berulang-ulang, namun justru rasa nyaman yang didapat. Mungkin benar mungkin kebetulan, hal itu merupakan sebagian dari tanda kecil pengidap Obsessive Compulsive Disorder atau bahasa kerennya OCD.
OCD adalah suatu jenis gangguan psikologi. Ciri utama penderita OCD adalah tidak mampu menahan keinginan untuk mengulang-ulang sesuatu yang sedang dikerjakannya. Kegiatan itu dilakukan untuk menekan rasa cemas, ketidaknyamanan, perasaan takut, dan biasanya akan memberikan efek lega, nyaman, dan puas.
Contoh yang parah dari OCD adalah ketika seseorang mencuci tangannya berulang kali karena takut terkontaminasi virus. Bahkan yang lebih parah, di Amerika ditemukan seorang penderita OCD yang tidak mampu menekan keinginannya untuk terus meminum air. Jika keinginan ini ditekan, maka ia bisa meminum air dari vas bunga dan air apapun yang ditemuinya. Parah kan? Mungkin kalian ada yang seperti itu. Untung saya tidak sampai separah itu.
Sudah menjadi kebiasaan OCD saya semenjak sekolah hingga kini adalah menggoyang-goyangkan kaki. Pernah pada waktu suatu pelajaran di SMA dulu, teman-teman saya pada protes karena mereka terganggu dengan kegiatan saya itu (waktu itu di laboratorium bahasa yang lantai kelasnya berundak memakai panggung kayu, jadi bisa goyang). Anehnya, saat teman-teman di sekitar merasa terganggu karena tulisannya jadi jelek karena bergoyang, saya justru nyaman bahkan tulisan saya baik-baik saja.
Lalu perilaku aneh saya lainnya yaitu saya yang sok perfeksionis. Jujur saya merasa malas membaca suatu tulisan jika di sana ditemukan ejaan yang salah. Bahkan waktu kegiatan kuliah saat dosen memberikan materi, yang tadinya semangat namun begitu ketemu ejaan yang salah pada presentasi dosen, langsung deh down itu semangat. Lainnya yaitu saat menulis sesuatu. Contoh pas ujian, saya tidak bisa hanya sekali menyilang jawaban. Pasti akan berkali-kali hingga jawaban itu tebal betul. Bahkan saat menulis di tengah jalan tiba-tiba pulpen mulai menipis, maka pasti dengan pulpen baru tulisan itu akan saya ulang dengan menebalkannya hingga tulisan menjadi tak karuan, tapi saya puas.
Waktu membaca koran, saat selesai saya harus menata koran itu kembali sesuai dengan urutannya. Mulai dari ututan halaman sampai urutan rubrik. Rasanya seperti ada yang mengganjal saat koran disusun terbalik atau ada halaman yang hilang. OCD saya yang lain adalah tak bisa melihat lipatan yang tidak simetris. Semisal melihat karpet di manapun, rasanya mengganjal kalo melihat ujung karpet itu ada yang terlipat. Seringnya sajadah di rumah. Siapa pun yang baru saja menggunakannya pasti tidak melipatnya, atau hanya melipat sekenanya. Saya tak bisa menekan keinginan saya untuk melipat sajadah itu secara simetris, ujung ketemu ujung tepi ketemu tepi.
Ini contoh film pendek yang mengangkat kelainan ini. Buffer yak! :)



Mungkin ini suatu kelainan. Tapi selama ini tidak parah, saya kok malah merasa biasa saja. Justru seperti contoh di atas, saya merasa menjadi orang yang menuntut penuh perfeksionitas. Mungkin ada teman-teman yang maun berbagi cerita tentang OCD-nya?



Tuesday, June 14

Negeri Kemeja [cerpen]







Negeri Kemeja




                Suatu ketika aku ditunjukkan kepada penduduk kaum suatu negeri. Negeri kemeja. Pernah kudengar sebuah tempat bernama negeri topeng1), tapi belum pernah sekalipun aku mengetahui tempat bernama negeri kemeja. Suatu negeri di mana setiap penduduknya memakai kemeja. Kemeja yang bermacam-macam, dari berwarna putih hingga hitam. Ada sekumpulan manusia yang mengenakan kemeja yang sama. Banyak jumlahnya. Manusia yang memakai kemeja yang sama berkelompok dengan jenis kemejanya. Aku seperti melihat reuni bermacam-macam keluarga besar.
                Kebanyakan kemeja berwarna putih dan merah. Dari mulai bercorak bulan, bintang, tanda plus, bungai teratai, segi enam, hingga corak seperti kincir angin. Tunggu. Mereka ada juga yang telanjang. Namun mereka tak merasa malu. Di negeri mana gerangan aku sekarang2)? Negeri kemeja? Adakah suatu negeri yang semua penduduknya memakai kemeja selain telanjang? Mimpikah aku ini? Ini tidak mungkin mimpi. Karena aku tak pernah benar-benar terlelap.
                 “Hai Tuan, mengapa kalian menyebut kami kafir?” tanya pria berkemeja bintang.
                 “Lalu kalau begitu, dengan sebutan apa kalian menyebut golongan kami?” jawab pria berkemeja bulan.
                 “Kurasa kafir juga,” jawab pria berkemeja bintang.
                Lalu keduanya tertawa. Benar-benar tertawa lepas penuh keakraban. Aneh. Bagaimana bisa dua orang yang saling tuding-menuding kafir bisa bahagia seperti itu. Sungguh negeri kemeja yang aneh. Tiba-tiba pria berkemeja bulan dan pria berkemeja bintang diam terkesiap menatap ke arahku. Aku takut bukan kepalang. Pikiranku melayang bagaimana jika mereka menangkapku dan membuat tubuhku menjadi sup makan malam. Tapi tidak. Mereka menghampiriku penuh senyum dan menyapaku.
                 “Hai Tuan, mengapa kau tidak memakai kemeja?” tanya pria berkemeja bintang.
                 “Aku bukan orang dari negeri ini,” jawabku.
                 “Lalu dari negeri tak berkemeja manakah kau berasal?” tanya pria berkemeja bulan.
                 “Aku dari negeri di mana benar menjadi salah dan salah menjadi benar,” jawabku.
                 “Pantas. Memang seperti itulah tabiat manusia negeri tak berkemeja,” tukas pria berkemeja bulan.
                 “Kalau begitu, karena kau di sini kau harus memakai kemeja. Janganlah kau memakai kain tak berkancing itu. Apalagi kalau kau sampai telanjang seperti mereka,” kata pria berkemaja bulan kembali.
                 “Iya. Maukah kau memakai kemeja bulan seperti yang aku pakai ini? Maka kujamin kau tidak akan kelaparan dan kedinginan di sini,” bujuk pria berkemeja bintang.
                 “Jangan. Pakailah kemeja bulan ini! Maka kau akan merasa aman dan damai penuh cinta,” bujuk pria berkemeja bulan.
                 “Maaf. Aku baru di sini. Aku masih perlu belajar banyak mengenai kebiasaan kalian. Aku tidak bisa dengan mudah memutuskan,” jawabku.
                 “Bertanyalah maka kami akan menjawab!” jawab pria berkemeja bulan dan pria berkemeja bintang serempak.
                 “Baiklah. Akan kucoba hidup bersama salah satu dari kalian satu hari saja. Maka dengan begitu aku akan belajar,” pungkasku.
                Dari mengocok undian, melempar batu, dan menebak angka, terpilihlah pria berkemeja bulan yang akan kucoba hidup bersamanya.
                Aku kini hidup di lingkungan manusia berkemeja bulan. Entah mengapa mereka bisa menemukan motif bulan untuk kemejanya. Sebab malam di negeri ini sama sekali tak ada bulan, atau mungkin belum musimnya. Saat kutanya pria berkemeja bulan hanya menjawab: “Saat kau mempercayai sesuatu, kau tidak perlu melihat sesuatu itu secara langsung, cukup mempercayai bahwa kau sedang melihatnya atau sesuatu itu sedang melihatmu”. Jawaban yang mendalam dan filososif, tapi sama sekali tak menjawab pertanyaanku.
                Pria berkemeja bulan yang kutemui tadi yang sekarang aku hidup bersamanya sangat bijaksana. Dia menjelaskan setiap yang kutanyakan. Bahkan dia menjelaskan apa yang tidak aku tanyakan. Aku tak tahu apakah pria berkemeja bintang tadi juga seperti itu. Atau mungkin semua pria berkemeja di sini seperti itu.
                Dengan dekat kepada mereka aku semakin mengenali mereka. Dari sekumpulan manusia berkemeja bulan, tak semua kemeja yang mereka kenakan bersih dan berwarna cerah. Ada yang kusam bahkan penuh bercak.
                 “Ada apa gerangan dengan mereka, Tuan?” tanyaku.
                 “Kemeja melambangkan kedamaian hati setiap manusia. Orang yang kemejanya putih atau cerah pastilah ia orang baik yang hidupnya penuh kedamaian dan ketentraman. Sedangkan orang yang kemejanya kusam, ia adalah orang yang ragu-ragu dalam hidupnya. Dan orang yang kemejanya bercak hitam, itulah orang yang benar-benar sesat dan kafir,” jawab pria berkemeja bulan.
                 “Kafir? Kau tadi juga menyebut pria berkemeja bintang dengan sebutan kafir. Padahal kemeja orang itu putih cerah,” tanyaku.
                 “Di sini, orang yang tidak memakai kemeja seperti kemeja yang kau pakai, maka kau boleh menyebutnya kafir,” tukas pria itu.
                 “Lalu mengapa kau tidak memberikan saja mereka kemeja seperti yang kau pakai? Atau mengapa kau saja yang sekali-kali memakai kemeja mereka,” kataku.
                 “Kemejamu kemejamu, kemejaku kemejaku,” jawab pria itu singkat.
                Kemeja melambangkan kedamaian hati setiap manusia. Satu saja kau memilihnya dan mempercayainya, maka kau akan merasa nyaman untuk terus memakainya. Mungkin suatu saat kau akan melihat noda di kemeja orang lain, namun orang itu akan tetap memakainya karena ia merasa nyaman dengan kemeja itu. Mungkin suatu saat kau akan melihat kemeja orang lain penuh dengan lubang dan tambalan, mungkin orang itu tidak tahu akan lubang di kemejanya dan jika ia berterima kasih karena kau telah mengingatkannya, maka kau bisa memberikan kemejamu. Namun jika orang itu tetap memakai kemejanya meski telah kau ingatkan, itu artinya ia benar-benar nyaman dengan kemejanya. Kau tidak bisa memaksa mereka untuk memakai kemejamu. Ingat-ingat itu!
                Ketahuilah! Hanya sedikit orang di negeri ini yang benar-benar mencari dan memilih kemejanya sendiri. Kebanyakan dari mereka hanya memakai kemeja seperti kemeja yang leluhurnya pakai. Kemeja yang diwariskan. Maka dari itu janganlah memaksa mereka untuk menukar kemejanya.
                Mungkin jika di negerimu, kau harus memberi kemeja kepada mereka yang telanjang. Tapi jangan pernah kau lakukan itu di sini karena kau akan mereka tertawakan. Bagi mereka yang telanjang di sini, kemeja tidak berarti bagi mereka. Mereka tidak mempercayai bahwa kemeja dapat membawa kehangatan dan kedamaian bagi mereka. Mereka lebih suka telanjang yang berarti kebebasan. Mereka tak ubahnya seperti binatang di sini, tak berkemeja. Namun mereka membenci jika kau serupakan mereka dengan itu.
                Hmm. Penjelasan yang panjang dan penuh kiasan. Namun cukup untuk mengusir rasa keingintahuanku. Berbeda dengan negeriku, Negeri Benar-menjadi-salah-dan-salah-menjadi-benar, kemeja seperti itu tak berlaku lagi. Bagiku kemeja apapun yang dipakai penduduk negeriku, mereka telanjang. Bahkan binatang berkemeja lebih baik dari mereka. Pemimpin kawanan berkemeja motif tikus. Kawanan biasa berkemeja motif cicak. Karnivora berkemeja motif timbangan atau palu. Si mangsa berkemeja motif padi lapuk atau kapas basah. Sebenarnya di negeri mana gerangan aku sekarang?
                 “Jadi, maukah kau tukar kain di tubuhmu itu dengan kemeja bulan seperti milikku ini?” terakhir pria berkemeja bulan itu berkata kepadaku.
                 “Kemejamu kemejamu, kemejaku kemejaku. Seseorang tidak bisa memaksa orang lain untuk memakai kemeja seperti yang ia pakai,” jawabku penuh kemenangan.
                 “Kalau begitu pulanglah! Tempatmu bukan di sini,”
                Seketika setelah pria berkemeja bulan itu selesai berkata, aku terlempar seolah-olah ada seseorang yang menarikku dari belakang dengan kuat. Atau bahkan ada seseorang yang meniupku dari depan dengan kencang. Dan dengan sekali hentakan tiba-tiba aku tersadar telah berada di negeriku sendiri, Negeri Benar-menjadi-salah-dan-salah-menjadi-benar.





Pekalongan, 10 Juni 2011





1) Baca cerpen “Topeng Kehidupan” karya Laela S. Chudori
2) Dikutip dari puisi “Kupu-kupu di Dalam Buku” karya Taufiq Ismail

Tuesday, June 7

Lidi-lidi [cerpen]







Lidi-lidi



                Sebelum bara api di sebatang lidi itu padam, simaklah bagaimana semua ini berawal. Mula-mula kau adalah seorang pecundang, kau sama sekali tak populer, bahkan kau tak berkawan selain pensil dan buku harianmu. Di lembaran buku harian itulah kau guratkan pensilmu kuat-kuat hanya untuk menuliskan catatan tentang kebodohanmu. Seolah-olah banyak sekali orang yang kau benci. Kau menulisnya dengan emosi yang meledak-ledak hingga berkali-kali ujung pensilmu patah. Namun kau selalu merautnya, dan begitu seterusnya. Kau tak ubahnya seperti manusia paling cengeng sedunia yang hanya bisa mengadu kepada buku harian dan sebatang pensil yang tak pernah jauh dari bantalmu. Namun bagaimana pun kau telah berhasil menciptakan aku. Satu-satunya teman yang kau miliki, meski aku hanya ada dalam alam imajinasimu. Ya, akulah teman mayamu.
                Mungkin bagi orang lain kau akan terlihat gila dengan berbicara sendiri sambil tanganmu tak berhenti menulis catatan-catatanmu. Namun bagiku, begitulah caramu berbicara denganku. Lama-lama aku kasihan juga dengan apa yang kau alami. Aku tahu aku tak bisa melakukan apa-apa karena semua kendali ada dalam kehendakmu. Lalu kehendakmu menyuruhku untuk melakukan sesuatu. Namun, waktu itu hanya sebatang lidi yang sanggup kuberikan padamu.
                “Apa ini? Lidi? Kau memang bodoh.”
                Kau menampik lidi pemberianku sebelum aku menjelaskan perihal lidi itu. Itulah dirimu. Sebenarnya kau yang bodoh. Sangat bodoh. Kau mulai melunak setelah kukeluarkan sekotak korek api.
                “Lidi? Korek api? Kau minta aku bersembahyang dengan lidi ini?”
                Lagi-lagi kau menunjukkan kebodohanmu. Mana ada bersembahyang dengan lidi. Kalau aku memintamu bersembahyang, maka aku akan memberimu sebatang hio bukan lidi. Namun memang akan seperti itulah caramu menggunakan lidi itu. Mirip dengan hio yang dibakar. Namun bedanya kali ini tak ada mantra doa atau pujian kepada Tuhan.
                “Lalu? Apa Tuhan akan mendengar ceritaku lewat sebatang lidi yang dibakar?”
                Aku sedikit geli mendengar pertanyaanmu itu. Namun sebisa mungkin aku tahan agar tawaku tak meledak yang bisa membuat kau naik pitam dan menampik lidi itu kembali. Dengan sabar aku menjelaskannya kepadamu. Kuambil buku harianmu, kusobek sedikit tepiannya. Kau terlihat kaget dan marah, namun rasa penasaranmu mengalahkan emosimu. Aku memintamu untuk menuliskan nama orang yang paling kau benci pada sobekan kertas itu. Lalu lilitkan pada sebatang lidi tadi dan rekatkan dengan ludahmu. Tancapkan lidi itu pada tanah dan bakar ujungnya.
                “Tunggu!”
                “Apa ludah bisa merekatkan kertas pada lidi?”
                “Apa lidi bisa dibakar layaknya hio?”
                Kau benar-benar tidak tahu. Itulah lidi yang kau ambil dalam diriku yang terus kau tuntut. Dan pasti itu bukan sembarang lidi. Dengan cara apa lagi aku menjelaskannya kepadamu.
                “Oh begitu. Lalu apa yang akan terjadi pada orang yang tertulis pada kertas itu?
                Kau benar-benar tidak bisa diam dan menunggu saja. Kau terus menuntutku dengan pertanyaan-pertanyaanmu. Terpaksa aku harus memberitahukan kepadamu. Kau perlu tahu, bahwa orang yang tertulis pada kertas itu akan mati seiring dengan matinya bara api pada lidi itu.
                “Bagus. Itulah yang selama ini aku impikan. Membunuh tanpa membunuh.”
                Ternyata hatimu busuk juga. Jika harus memilih dilahirkan, aku tidak mau lahir dari buah imajinasimu. Tapi mungkin itulah yang ditakdirkan. Aku harus mendampingimu karena kau terlalu bodoh untuk hidup sendirian.
                “Tunggu!”
                “Lidi ini hanya satu. Sedangkan banyak orang yang aku benci.”
                Ah kau benar-benar banyak pintanya. Memangnya seberapa banyak orang kau ingin kau bunuh. Tenang saja. Jika bara api di lidi itu padam, artinya orang yang tertulis pada kertas itu telah mati. Dan kau tinggal cabut lidi itu dari tanah. Maka lidi itu akan tiada terputus hingga ukuran seperti semula. Dan kau tinggal mengulangi pekerjaan busukmu.
                Begitulah. Semenjak itu kau rajin membuat daftar orang-orang yang kau benci. Kau urutkan dari yang benar-benar kau benci hingga orang yang hanya kau benci dari penampilannya. Dan satu persatu orang-orang itu mati dan menghilang dari kehidupanmu. Ada yang mati tercekik, tergantung, jatuh, hingga tenggelam dan menghilang. Tidak hanya dari orang-orang di lingkunganmu. Bahkan mantan guru dan pengemis menyebalkan turut kau masukkan dalam daftar. Aku takut kau akan kecanduan. Aku takut kau akan tersundut bara apimu sendiri kelak. Kau tidak lagi berkutat dengan buku harianmu. Kau justru menggunting buku harianmu kecil-kecil dan kau gunakan untuk mainan barumu. Sambil tertawa dan penuh rasa puas kau menyulut ujung lidi itu tiap malam.
                Orang-orang di lingkunganmu mulai aneh dengan tingkah lakumu. Kau berubah. Dari cara berjalanmu, kau kini tak lagi menundukkan kepala. Kini kau membusungkan dada setinggi-tingginya. Matamu tajam mencari orang-orang yang mungkin bisa saja kau benci dalam pandangan pertama. Setiap orang yang terlibat hal yang tak menyenangkan denganmu, pasti malam harinya kau tuliskan namanya dalam kertas, tak peduli masih banyak daftar yang antri menunggu untuk kau bunuh. Orang-orang mulai menyadari apa yang kau lakukan. Mereka tahu bahwa siapa pun orang yang tak menyenangkan bagimu, pasti keesokan harinya orang tersebut ramai diberitakan mati.
                Sejak saat itu kau menjadi bahan pembicaraan sebagai manusia penyembah setan dan penganut ilmu hitam. Orang-orang mulai menjauhimu. Siapa pun yang berpapasan denganmu pasti akan menghindar dengan berlari dan menutupi wajahnya, bahkan ada yang merapal doa. Hingga sampai pada satu hari, tempat di mana kau berada nyaris tak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Kau benar-benar sendiri. Semula kau bermaksud untuk menyingkirkan orang-orang kau benci hingga menyisakan orang-orang yang kau suka. Namun perbuatanmu justru membuat semua orang benar-benar menjauhimu. Kau pun geram. Kini kau tak peduli lagi. Seketika itu juga saat menjumpai buku harian dan pensilmu, kau langsung menuliskan semua nama yang terlintas di pikiranmu. Bahkan kau sampai mengingat-ingat apa ada nama yang terlewat. Sungguh kau kelewatan. Kau ingin membunuh semua orang yang kau ketahui. Tatapanmu menciutkan nyaliku. Aku diam. Aku takut kalau kau tiba-tiba menambahkan namaku dalam daftar itu. Tapi tunggu dulu. Aku bahkan tak punya nama. Namaku adalah namamu. Kau mati aku mati. Aku mati kau hampa.
                Aku pikir kau benar-benar keterlaluan. Kau kelewatan. Meski aku hanya tokoh ciptaanmu yang berpikir dan berbuat sesuai dengan kehendakmu. Tapi ketahuilah, aku punya sedikit kehendak bebas untuk memberontak kepadamu. Meski nyawa taruhannya. Tapi tak apa, bahkan aku tak benar-benar hidup. Maaf aku terpaksa melakukan ini.
                Tahukah kau semalam tadi aku bangun dari tidurmu. Aku berusaha setenang mungkin agar aku tidak membangunkanmu. Agar kau tetap melanjutkan mimpi-mimpi kejimu yang sudah tak sanggup lagi aku simak. Lalu kuambil buku harianmu. Lihat, separuh tebal halaman ke belakang penuh dengan nama-nama manusia. Lima ratus empat puluh delapan baris kau gunakan untuk menulis daftar orang-orang yang hendak kau matikan seperti matinya bara api pada lidi. Padahal kau tahu jumlah batang pada sekotak korek api tak mungkin mencapai lima ratus empat puluh delapan batang. Tunggu. Aku belum memberitahukanmu bahwa kesempatan yang bisa kau mainkan adalah sebanyak jumlah batang pada sekotak korek api itu. Dan kau sama sekali tak menyisakan batang pada kotak korek api.
                Bara api baru mencapai tiga perempat batang lidi. Masuh jauh dari lilitan kertas yang entah nama siapa yang tertulis di dalamnya. Buru-buru kulepas lilitan kertas itu. Luar biasa. Kau menuliskan lima nama sekaligus dalam secarik kertas kecil itu. Kini saatnya kuakhiri permainan yang dulu aku memulainya. Kutulis lengkap namamu pada selembar kertas kosong dan kulilitkan pada sebatang lidi yang sepertiganya telah habis terbakar. Kuharap aku tak menyesal dengan apa yang kulakukan ini. Ya, aku sama sekali tak menyesal. Bahkan kuanggap ini sebagai penebusan dosaku karena dahulu aku telah mengajarkan cara membunuh orang tanpa membunuh kepadamu. Kini saatnya aku memberhentikan permainan konyolmu. Tanpa batang korek dari sekotak korek api itu, permainan ini tak dapat dimulai kembali. Bahkan esok tak ada lagi orang yang akan mencabut lidi itu dari tanah, batinku.
                Kau kelimpungan. Kau mengerang kesakitan di sepertiga malam saat bara api mulai menyentuh tepian kertas. Kau tak tahu apa yang sedang terjadi. Kau menatapku. Aku berpura-pura juga tak tahu apa yang sedang terjadi. Keringat yang sepertinya dingin menyelimuti tubuhmu. Tingkahmu seperti anjing kena racun. Sebentar mengerang sebentar mengejang. Tanganmu mencekik lehermu sendiri. Matamu melotot hendak keluar menatap tajam ke arahku. Sementara aku sudah tak merasakan kerasnya tanganku yang mengepal. Kurasakan juga tubuhku mulai timbul tenggelam samar-samar dalam temaram.
                Pagi hendak menjelang. Sebatang lidi tinggal seukuran kuku ibu jari. Luar biasa kau masih bisa bertahan. Seperti itu jugalah rasa orang-orang yang kau benci saat kau menulis nama mereka pada secarik kertas. Agaknya kau tahu. Tapi sebatang lidi yang nyaris habis tak bisa kembali lagi utuh. Tubuhmu lebam dengan posisi tangan mencekik lehermu sendiri. Kau sama sekali tak bergerak kecuali kedua bola matamu yang hendak meloncat terus bergerak-gerak mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Suara eranganmu yang sama sekali tak pernah sampai ke mulut seolah bertanya-tanya, atau minta tolong, atau menyesal, atau bahkan kau mengumpat. Ah, kini aku tak peduli. Aku kini hanya benda samar-samar setipis kabut. Namun aku masih mempunyai sisa tenaga hanya untuk menceritakan kembali apa yang sebenarnya terjadi. Mungkin cerita ini akan panjang.



Pekalongan, 6 Juni 2011

Wednesday, June 1

Fajar Gelap Kini







Tulisan ini diimpor dari Note Facebook saya.


Fajar gelap kini. Tak ada cahaya kecuali lampu-lampu beranda rumah dan satu dua lampu temaram di sudut jalan. Tak ada suara katak bernyanyi, entah. Hanya suara serangga pohon yang ramai bersahutan. Tak ada tanda-tanda kehidupan kecuali suara binatang malam, padahal fajar sudah dekat kini.

Fajar gelap kini. Angin dingin bercampur harum rumput basah menyeruak seisi kamarku ketika jelanda kubuka. Benar-benar tak ada kehidupan kecuali hanya seekor kucing di bawah semak itu yang sedang menjilati kelaminnya sendiri. Sia-sia. Tak kudapati satu pun manusia hidup. Kembali aku beringsut meringkuk di atas pembaringan, padahal fajar sudah amat dekat kini.

Fajar gelap kini. Sayup-sayup kudengar suara manusia. Tanda kehidupan dimulai oleh suara murrotal di kejauhan. Senang betul aku mendengarkan suara itu, meski terkadang suara itu mengalun menghilang terbawa angin. Ayam-ayam berkokok, sapi melenguh, dan kambing mengembik. Semua makhluk menampakkan kehidupannya kini. Tapi sama sekali tak kutemukan manusia berucap alhamdulillahiladzi padahal fajar sudah amat teramat dekat kini.

Fajar masih gelap kini. Gema takbir mengalun bertalu-talu dari segala penjuru. Maha Besar Allah, ya benar. Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah, ya benar. Mari dirikanlah sholat, ya jika manusia benar-benar terbangun. Mari menuju kemenangan, ya jika manusia mau berusaha dan terbangun kini. Sholat itu lebih baik daripada tidur, ya andai saja mereka mendengar dan tahu. Maha Besar Allah dan Tiada Tuhan selain-Nya, ya mereka tahu dan andai saja mereka taat. Fajar benar-benar tiba kini.

Fajar tak lagi gelap kini. Langit timur dan langit barat membuat gradasi terang-gelap yang cantik. Cahaya matahari mengintip di timur horison, kuat menembus dan menelusup dari balik daun pepohonan yang basah. Sunyi sejenak. Suara serangga berhenti. Sekawanan burung bergerombol meninggalkan pucuk-pucuk pohon. Satu per satu lampu beranda mati yang menunjukkan ada kehidupan dalam rumah itu. Ah, terlambat. Karena di surau tadi aku benar-benar sendirian. Tapi, mungkin saja mereka melakukannya di rumah masing-masing. Dan fajar terang kini.

Fajar sudah tak ada lagi. Matahari yang menggantung di timur sana mulai melakukan tugasnya. Aku malu kepada matahari. Ia tiap hari melakukan hal yang sama. Tapi tak pernah ia mengeluh. Tapi aku tahu jika suatu saat ia jengah dengan penduduk bumi, ia akan diterbitkan dari barat. Dan jika itu lebih baik, semoga tak ada lagi fajar.




Pekalongan, Kamis 7 April 2011
http://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html http://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html