Dulu sekali Tuhan. Aku masih ingat, ketika tempat sholat itu kusebut langgar. Kecil, selayaknya langgar-langgar kampung. Sehingga saat taraweh tiba, laki-laki saja yang muat di dalamnya. Selebihnya membanjiri pelataran, ke tepi-tepi jalan, hingga ke serambi-serambi rumah.
Imamnya pun imam kampung, jamaahnya jamaah kampung. Kental sekali kekeluargaan di sini. Dua tiga rekaat tak masalah, ada senandung kecil di sela-selanya. Hingga saat khutbah tiba, yang seringkali disampaikan dengan bahasa Jawa yang kental sekali. Sampai-sampai banyak yang tak kumengerti.
Selepas itu, salam terakhir di akhir witir. Selepas itu, niat puasa dibaca bersama. Selepas itu, sholawat nabi mengiringi orang-orang bangkit dan berjabat tangan. Bocah-bocah tanggung usia sekolah sambil membawa buku menghambur mengejar Pak Kaji, hendak meminta paraf untuk buku Ramadhan.
Selepas itu, langgar sepi. Hanya ada remaja dan bocah-bocah. Sibuk berjingkat meraih al-Quran di atas almari, sebagian lagi sibuk menata meja kecil dan mengulur mikrofon. Lalu mereka tertunduk mengaji. Sementara dari kejauhan muncul emak disusul emak lain lagi, membawa jajan untuk kami.
0 komentar:
Post a Comment
Mohon tinggalkan jejak kawan..